Jumat, 12 September 2014

Degradasi Kesolehan dan Solusinya







I.                   MUKADIMAH

Setiap muslim pasti tidak menginginkan keimanan dalam relung kalbunya mengalami kelemahan. Kelemahan ini akan terlihat dari kualitas dan kuantitas amal ibadah dan kesolehannya,  satu hal yang merupakan barometer keimanan. Hal tersebut memperlihatkan kenaikan atau degradasi keimanannya.
Karena itu, setiap muslim tentu menginginkan kesolehan dan kebaikannya senantiasa eksis dalam ruang kepribadiannya, dan kemudian menjelma dalam ruang sosialnya. Namun, kesolehan dan kebaikan ini bisa bertahan, atau bahkan berkembang   dengan ditentukan oleh kondisi keimanannya. Sejauh mana ia berusaha  menyuburkan keimanannya dengan ketaatan dan kesolehan. Oleh karenanya, Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengajarkan kepada kita sebuah doa sebagai berikut.

“Ya Allah, Engkau lah teman dalam perjalanan dan khalifah dalam keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari beratnya perjalanan dan keburukan kondisi, dari kekurangan setelah kesetabilan, dari doa orang yang terdzalimi, dan dari buruknya pemandangan terhadap keluarga dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Dalam hadist ini, makna berlindung dari kekurangan adalah isyarat kepada setiap muslim untuk khusyuk berdoa agar keimanannya tidak mengalami penurunan, dan agar kesolehan dan kebaikannya dari hari ke hari semakin berkembang dan berbuah.
Namun, dalam realitas kehidupan muslim, tidak dapat dipungkiri adanya degradasi keimanan, kesolehan, dan kebaikan. Pada akhirnya hal ini melahirkan penyimpangan dan kesesatan dalam kehidupan. Kondisi dan fenomena ini pernah dialami oleh kaum sebelum kita. Secara eksplisit, Al-Qur`an menggambarkannya dalam ayat berikut ini.

“Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Oleh karena itu, munculnya generasi terbiasa menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu—seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari generasi sebelumnya. Pendahulunya tidak memberikan pemahaman dan pembinaan terhadap mereka secara kontinyu. Karena, apabila manusia tidak memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, ia cendrung mengikuti apa yang diinginkan hawa nafsunya. Itulah sebabnya, ketika ia memiliki pemahan yang tidak baik, atau adanya intervensi syubhat dalam paradigma pemikirannya, atau adanya dominasi syahwat yang berlebihan, ia akan mempunyai kecendrungan meyimpang dari jalan kebenaran. Dalam Madaarijus Salikin dan Zaadul Ma’aad, hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziah, ia berkata ”Bahwasanya akar penyimpangan dan kesesetan seseorang bermuara pada dua faktor yaitu, syubhat dan syahwat”. Oleh karenanya, Allah SWT mengingatkan Nabi Daud as. untuk berlaku adil, menegakkan seluruh nilai kebenaran, dan tidak mengikuti libido atau hawa nafsunya, tatkala diberikan amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Perhatikan ayat berikut ini.

“Hai Daud,   sesungguhnya  Kami  menjadikan  kamu   khalifah (penguasa)  di muka bumi,  maka  berilah keputusan  (perkara)  di antara  manusia dengan  adil dan  janganlah  kamu mengikuti  hawa nafsu,   karena  ia  akan  menyesatkan  kamu  dari  jalan  Allah. Sesungguhnya  orang-orang  yang  sesat  darin  jalan  Allah  akan mendapat  azab   yang  berat,    karena  mereka   melupakan  hari perhitungan.” (Shaad: 26)

Oleh karena itu, sangatlah urgen bagi seorang muslim untuk memahami sebab-sebab degradasi kesolehan dan keimanan. Satu hal yang dapat mengakibatkan kita terombang-ambing dalam lautan kesesatan.


II.                SEBAB SEBAB DEGRADASI KESOLEHAN

Degradasi atau penurunan kesolehan dan keimanan seseorang tidak lahir begitu saja tanpa  faktor-faktor penyebab. Hal ini kembali kepada tabiat yang dimiliki “iman” itu sendiri, yaitu iman mengalami fluktuasi. Terkadang ia mengalami penambahan dan penguatan yang luar biasa, namun di saat lain ia mengalami penurunan yang drastis. Ibnu Hajar Asqolani, dalam Fathul Baary, Syarah Shahih al-Bukhari menyatakan bahwa  semua ulama sependapat iman itu dapat bertambah dengan ketaatan, dan dapat berkurang dengan kemaksiatan.
Di dalam Al-Qur`an, banyak terdapat ayat yang berkaitan dengan fluktuasi imam seseorang.

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata,  "Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah: 124-125)

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya.  Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.” (al-A’raaf:    146)

Adapun sebab-sebab degradasi kesolehan seseorang adalah sebagai berikut.

Pertama, lemahnya iman.
Apabila seorang muslim lemah imannya, maka ia tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman tersebut. Ia senantisa terombang-ambing dalam panggung kehidupannya, dan tidak memiliki jati diri lagi sebagai muslim yang sebenarnya. Sebaliknya, manusia muslim yang memiliki kekuatan iman yang sebenarnya—bukan hanya sebatas keyakinan saja, ia akan merasa tentram, damai, percaya diri, dan bahkan mampu melukiskan karya-karya besar dalam kanvas kehidupannya. Inilah hamba-hamba yang dijanjikan Allah sebagai pewaris bumi-Nya, sebagaimana dinyatakan ayat-ayat berikut ini.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur: 55)

“Orang yang selalu merasakan kenikmatan iman adalah orang yang rela menjadikan Allah sebagai Robb, Islam sebagai agama, dan Muhamad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

“Ada tiga perkara, yang jika seseorang memilikinya, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih  daripada yang lain, menncintai orang lain karena Allah, dan benci kepada kekufuran, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maka, kelemahan dan penurunan iman secara otomatis mempengaruhi kuantitas dan kualitas kesolehan dan kebaikan seseorang. Semakin kuat iman dalam jiwa seseorang, semakin kuat pula amal seseorang. Sebaliknya, semakin lemah iman seseorang, semakin lemah pula kuantitas dan kualitas amalnya.

Kedua, tertinggal dalam  ilmu pengetahuan.
Kekuatan dan kemenangan umat yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja, melainkan harus diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupan. Namun, kekuatan dan kemenangan itu baru akan tegak kokoh jika berdiri di atas tiga pilar, yang satu sama lainnya tidak boleh terpisahkan, yaitu iman, ilmu, dan amal (ibadah). Saat ini, ketika umat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang, dan akhirnya berganti dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya.

“…Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

Mengenai hal ini, Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah, sesungguhnya jati diri seorang pemuda ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

Adapun Ibnu Taimiah berkata, “Pencabutan amanah dan iman bukanlah berarti pencabutan ilmu. Karena, manusia terkadang diberikan keimanan, namun tidak diberikan keilmuan. Keimanan seperti ini mudah hilang dari jiwanya, sebagaimana hilangnya iman Bani Israil tatkala mereka melihat anak sapi (yang akhirnya disembah). Adapun jika seseorang diberikan ilmu serta iman, maka ilmu dan imannya tidak akan hilang dari jiwanya, dan ia tidak akan keluar dari Islam. Berbeda jika ia hanya diberi Al-Qur`an atau iman saja. Sebab,  iman semacam ini terkadang hilang, sebagaimana realitas yang ada dalam kehidupan. Hal ini terlihat pada kebanyakan riddah (kemurtadan) yang kita temukan, yaitu terjadi pada orang yang hanya memiliki Qur`an tanpa memiliki ilmu dan iman, atau memiliki iman tanpa memiliki ilmu dan Qur`an. Karena itu lah, orang yang memiliki Al-Quran, iman, dan  ilmu pengetahuan,  niscaya tidak akan kehilangan iman dari jiwanya. Wallahu a’lam.” (al-Fataawa, 18/305)

Ketiga, meremehkan dosa dan kemaksiatan.

Ketika seseorang menganggap remeh dosa dan kemaksiatan, maka kesolehan dan kebaikannya akan mengalami degradasi. Bahkan, dengan meremehkan dosa dan kemaksiatan,  ia akan mudah terjebak dalam kubangan kemaksitan. Karena, tabiat dosa atau kemaksiatan adalah senantiasa mengajak dan menggiring manusia untuk melakukan dosa lagi. Mengenai masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kalian akan meremehkan dosa-dosa, karena sesungguhnya dosa-dosa tersebut akan berkumpul, dan akhirnya mencelakakannya. Perumpamaan dosa-dosa ini seperti kaum yang menuruni lembah dan setiap orang membawa sebatang kayu bakar. Mereka mengumpulkannya dan menjadikannya tumpukan, kemudian dinyalakan api dan semua yang dilemparkan ke dalamnya menjadi matang.” (HR Ahmad dan at-Thabrani)

Selain menambah dosa dan kemaksiatan, meremehkannya dapat mengakibatkan seseorang jauh dari jalan taubat, melemahkan hati untuk berjalan menuju Allah, dan bahkan  di Hari Akhirat nanti dapat menjadi penghalang menuju ke haribaan-Nya.

Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan melahirkan kecerahan di wajah, cahaya di hati, kelapangan rizki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia lain. Adapun kemaksiatan menimbulkan kepucatan di wajah, kegelapan di hati, kelemahan badan, serta kesempitan dan kebencian di hati manusia.” 

Abdullah bin Mubarak berkata dalam syairnya.

Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati
Membiasakannya bisa mewariskan kehinaan,
Sementara, meninggalkan dosa-dosa adalah kehidupan bagi hati
dan kebaikan bagi jiwa,
Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali para raja dan cedekiawan yang rusak 

Keempat, ujub dan ghurur (keterperdayaan).

Ujub dan ghurur merupakan dosa awal yang dimiliki Iblis, yaitu saat ia menolak  perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Sebab, ia merasa mempunyai kelebihan dibandingkan Adam. Ia merasa lebih baik, lebih kuat, dan lebih sempurna. Begitu lah halnya manusia yang memilki sifat ujub dan ghurur, ia merasa lebih segala-galanya dari pada orang lain. Ia akan lebih sibuk dengan urusan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri, dan ia merasa tidak butuh lagi untuk melakukan ekspansi kebaikan. Perasaan ujub dan ghurur yang mendominasi jiwa seorang muslim akan mematikan langkah-langkah kebaikannya, dan akan mengubur rasa jiddiyah (kerja keras) dalam usaha untuk menambah kesolehan pribadi.

“Apabila kamu melihat kekiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan takjub jika  semua orang mengikuti pendapatnya, maka selamatkanlah dirimu.” (HR at-Tirmidzi)

Bersamaan dengan ujub, akan muncul ridha kepada hawa nafsu. Ridha kepada hawa nafsu akan mengakibatkan banyak kekurangan dan penyakit, seperti ghurur, meremehkan orang lain, dan tidak pernah mengintropeksi diri. Oleh karenanya, Allah mencela sifat ini melalui berbagai ayat-ayat-Nya.

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa'at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (at-Taubah: 25)

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (al-Hasyr: 2)

Kelima, lemahnya tarbiyah.

Rasulullah saw. diutus ke bumi dengan mengemban misi khusus, yaitu untuk membacakan ayat-ayat-Nya, serta mentazkiah dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada ummatnya. Hal ini dilakukan agar mereka memahami visi dan misi kehidupannya, agar mata mereka terbuka akan peradaban yang ada di sekitarnya, dan agar mereka menjadi saksi-saksi kebenaran dan kebaikan atas umat yang lain.
Maka, ketika taklim dan tarbiyah (pendidikan dan pembinaan), yang sesuai dengan minhaj salafus shalih tidak dilirik kembali oleh ummat Islam, dan bahkan ditinggalkan sama sekali, niscaya akan muncul syubhat pemikiran di tengah-tengah ummat, merajalelanya syahwat dalam kehidupan, dan kebodohan mewarnai masyarakat. Inilah fenomena masyarakat muslim ketika tarbiyah, taklim dan dakwah tidak berperan lagi dalam masyarakat, sebagaimana yang diisyaratkan ayat berikut ini.

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
 
Oleh karenanya, Allah menyerukan setiap mukmin untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi munkar.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(Ali ’Imran: 104)

Keenam, dominasi syahwat

Kesesatan dan jauhnya seseorang dari jalan petunjuk dan kebenaran bisa disebabkan oleh salah satu diantara dua faktor ini, yaitu syubhat dan syahwat. Syahwat yang mendominasi kehidupan seseorang akan memasung akalnya, menjadi raja kecil dalam dirinya, dan akan menjadikannya tunduk kepada setiap perintahnya. Semua organ tubuhnya digerakkan oleh keinginan hawa nafsu dan harapan libidonya, sekalipun ia sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Islam.
Maka, tatkala dominasi syahwat sangat kuat dalam jiwa dan diri seseorang, niscaya cahaya kebaikan dan kesolehannya akan semakin redup, dan bahkan sama sekali tidak tampak. Ia akan berjalan di tengah-tengah masyarakatnya dengan kegelapan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Sebaliknya, orang yang mampu menahan hawa nafsunya akan berjalan dengan cahaya kehidupan di tengah-tengah masyarakatnya. Hal ini telah Allah nyatakan dalam firman-Nya.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (al-An’aam: 122)

Rasulullah saw. mengkatagorikan  orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan hawa nafsunya, dan perhatikan lah pahala yang diberikan Allah kepada orang semacam ini.

“Orang yang cerdas ialah orang yang mampu menahan hawa nafsunya, dan beramal untuk hari sesudah kematiannya.”

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” (an-Naazi’aat: 37-41)

Ketujuh, berlebihan dalam mencintai dunia.

Sepatutnya, seorang muslim selalu berharap dalam kehidupannya kebaikan di dunia dan di akhirat, bukan hanya salah satunya saja. Ia hidup di dunia ini dan menikmati limpahan karunia serta rizki dari Allah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam. Ia menguasai dunia untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakatnya. Inilah suatu kebahagian tersendiri yang tidak pernah dirasakan hamba-hamba yang mengingkari kebenaran risalah ilahiah.

“Tidak boleh hasud, kecuali kepada dua orang ini, seorang yang diberikan Al-Qur`an oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya setiap hari dan setiap malam, dan seorang hamba yang diberikan Allah harta, kemudian ia menginfakkannya setiap hari dan setiap malam.” (Hadits shahih)

Namun, ketika jiwa seorang muslim sangat mencintai dunia, maka hal tersebut  akan mematikan langkah-langkah kebaikannya. Ia akan memiliki pemahaman bahwa hidup adalah untuk mengumpulkan harta yang sebanyak-banyaknya, bahwa dunia adalah sesuatu yang pasti dan akhirat adalah sesuatu yang belum pasti, dan bahwa dunia adalah kenikamatan cash dan akhirat adalah kenikmatan yang tertunda. Pernyataan-pernyataan ini muncul karena adanya talbis iblis pada jiwa seorang muslim. Oleh karenanya, Rasulullah sangat menakutkan fitnah dunia ini menimpa ummatnya.

 “Demi Allah, bukanlah ujian kefakiran yang aku takutkan terhadap kalian, tetapi  ujian kelapangan dunia sebagaimana yang telah diberikan kepada kaum sebelum kalian. Kamu semua akan berlomba-lomba mendapatkannya, seperti mereka dan ia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (HR al-Bukhari Muslim)
Kedelapan, krisis identitas

Ketika kondisi keimanan seseorang dingin dan tidak memiliki energi untuk melakukan perubahan dalam dirinya, serta keimananannya tidak memiliki pengaruh dalam melahirkan amal ibadah, maka ia akan mengalami idzabatu syakhshiat islamiah (krisis identitas keislaman). Ia menjadi minder ketika disebut muslim, malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang identitas dirinya sebagai muslim, ketika  seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas dan siapa mereka. Mengapa? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas yang khas, kepribadian independen, dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik risalah bumi, serta pemikul panji dakwah universal yang berkarekter rabbaniah, insaniah, dan akhlakiah.
Maka,  seorang muslim yang tidak memahami hal ini akan kehilangan arah dan pegangan hidupnya, dan ia merasa tidak berharga dalam masyarakatnya serta tidak percaya diri sebagai muslim. Secara otomatis, ia akan melakukan apa saja yang ia inginkan, tanpa berfikir apakah perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Ia beribadah sekadarnya, dan beramal islam ala kadarnya. Akhirnya, lama-kelamaan, ia akan jauh dari poros Islam, dan berjalan diluar bingkai keislaman yang sebenarnya.

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)


III.             SOLUSI

Untuk menyelamatkan umat dari kesesatan, penyimpangan dan degradasi kesolehan, maka semua muslim harus bersama-sama bahu-membahu dan berusaha keras untuk mengantisipasinya dengan cara sebagai berikut.
 
Ø  Tarbiah imaniah

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (al-Ahzab: 70-71)

Ø  Ikhlas dan jujur kepada Allah

“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quraan) dengan(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.” (az-Zumar: 2)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (saja)  mengatakan :"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya kami telah menguji  orang-orang  yang  sebelum  mereka, maka   sesungguhnya   Allah   mengetahui   orang-orang  yang  benar  dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)

Ø  Menguatkan ilmu pengetahuan

“…Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima  pelajaran.” (az-Zumar: 9)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)

Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya jati diri seorang pemuda, demi Allah, ada dalam  ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”

Ø  Takut akan keburukan akhir hidup (su’ul khatimah)

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi.  (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)

“Sesungguhnya amal manusia itu ditentukan pada saat akhir kehidupannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Dikisahkan bahwa Sufyan ats-Tsauri menangis sejak malam sampai pagi, dan seseorang bertanya kepadanya, “Apakah tangisan anda ini karena dosa-dosa yang anda perbuat? Sufyan ats-Tsauri lalu mengambil sehelai merang dari tanah seraya berkata, “Dosa-dosa itu lebih ringan daripada ini. Sesungguhnya aku menangis karena takut akan akhir hayat yang buruk (su’ul khatimah)”
Oleh karena itu, dengan adanya rasa takut akan akhir hayatnya, setiap manusia muslim akan selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, dan senantiasa terus menghiasi lembaran kehidupannya dengan sejuta warna kebaikan.

Ø  Beramal shalih secara kontinyu

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 77-78)


            Wallahu a’lam bish-shawwab.

0 komentar:

Posting Komentar