Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang
senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita
sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak
mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk
menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat
menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah
kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak
memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus
dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya.
Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan
ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang
shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman,
dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para
sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama
kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah
swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan berbuat baiklah kalian, karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:
195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang
artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang
artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain)
seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan
mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan
kepada seluruh makhluk Allah swt.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang
berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu
makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi
yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:
195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu
bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang
jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian
terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan
seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada
beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril
tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan
mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika
kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah
dengan baik.” (HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental.
Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang
menjadi pokok bahasan kita kali ini.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu
dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah,
dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah
senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa
memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut
dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya
arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang
kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah
lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan
isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih
banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa
dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan
ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah,
maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya
masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita
berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam
surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus,
derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan
saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi
memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara
mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai
berikut.
Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah
dengan derajat yang berbeda-beda.
Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah
dengan derajat yang berbeda-beda.
Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi
dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Tingkat Takwa
Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh
derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai dengan
derajat ketakwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti
meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sanksi dan melakukan
salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah
melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita pahami
dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya
yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba
melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa,
yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan
mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa.
Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh
jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena
amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan
yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah
derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu
dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.
Kedua, Tingkat al-Bir
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang
masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang
mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang
wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat ini disebut martabat al-Bir
(kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya
sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya.
Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi
perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.
Akantetapi, mereka yang melakukan amalan
tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan
peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama
merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim
dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur kaidah
iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka, maka ia tidak
dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt.
berfirman dalam kitab-Nya, “Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.”
(QS. l-Baqarah: 189)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,
maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang
masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui
peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan
sempurna —seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya– maka kita akan
mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan
adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat
beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah
senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan
untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam
segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan
sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah
swt.
2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah
swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan
adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan
jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan
membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya.
Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt. menjelaskan hal ini dalam
kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa
ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari
Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada
keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita
kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik
kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka
bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan
membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan
seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi.
Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan
keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah
Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku.
Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan
barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR.
Turmudzi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan
Abu Dawud)
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir
miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan
Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak
yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari
tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw.
bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin— yang memelihara anak yatim dengan
memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga
selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga
jauh, serta teman sejawat
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga
dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga
jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang
berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau
kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam
katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja,
tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai
muslim; sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal
ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para
sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR.
Syaikhani)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda,
“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan
tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba
sahaya
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan
tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah
dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya,
menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah,
berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak
menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw
bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang di
antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas
dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan bersamamu.
Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua
suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau
karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak
membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga
kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka
hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa
yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah
ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj:
38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat
jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah
pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang
sangat dibenci oleh Allah swt.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang
baik kepada manusia
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim,
Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita
melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat,
mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu
mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada
binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan
memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya
diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya
jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya
dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh
paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah
dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah
saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah
berkata, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada
hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya
pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun
tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba
sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan
tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia
biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun
melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.”
3. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah
dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya
apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam
hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh
seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang
sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri
seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya– maka kita akan
menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan
sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap
dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam
sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi
dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari
akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya
agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata
Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat
mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam
bish-shawwab. []
0 komentar:
Posting Komentar