Bila kita berkecimpung dalam
dunia da’wah, maka memahami siasatud da’wah merupakan tuntutan yang tak dapat
dihindarkan. Banyak da’i yang aktif dalam da’wah tetapi sama sekali tidak
memahami siasatud da’wah. Ia bak pita rekaman yang diputar disana sini berjalan
tanpa program dan perencanaan. Da’i seperti ini biasanya hanya menjadi
bulan-bulanan orang-orang yang punya program, terutama dari kalangan musuh
Islam.
Siasatud da’wah sangat erat kaitannya dengan minhaj da’wah
sebagaimana siasatusy-syar’i erat hubungannya dengan minhajusy-syar’i,
karenanya dalam suatu gerakan da’wah yang berjalan tanpa minhaj, mustahil
ditemukan siasatud da’wah ini. Hanya para du’at yang berkecimpung dalam jihad
minhaji saja yang bisa memahami siasatud da’wah.
Mendengarkan kata “siyasah” orang mungkin
berfikir ini merupakan ilmu politik, sebenarnya tidak demikian. Siasat disini
lebih merujuk pada aktifitas politik praktis da’wah dan bukan pada ilmu
politik. Islam memiliki pola politik sendiri yang khas dan berlaku pada suatu
masyarakat Islam. Siasat da’wah mencakup aktifitas da’wah yang dilakukan oleh
praktisi da’wah. Dia menjadi kegiatan utama bagi para personil struktural dan
fungsional da’wah. Dengan demikian ruang lingkup siasatud da’wah adalah “pengendalian
da’wah dan problematika-prolematika da’wah”.
Kefahaman terhadap siasatud da’wah sangat bermanfaat
untuk menyusun program dan perencanaan baik bagi individu da’i maupun jama’ah
harakah Islam. Dengan kefahaman ini, aktifitas internal maupun eksternal suatu
jama’ah akan terarah dan terkontrol. Sasaran utama siasatud da’wah adalah
terbentuknya isti’ab jama’i (kemampuan beramal jama’i) yang tinggi, peningkatan
amal jama’i secara kualitas maupun kuantitas sangat berguna untuk menertibkan maratib
tanzhim da’wah (stelsel struktural) yang solid dan kuat.
PENGERTIAN SIASATUD DA’WAH
Kata siasat sebenarnya sudah cukup mengakar dalam
bahasa indonesia. Dalam kamus bahasa arab berasal dari kata
“sasa-yasusu-siyasatan”, artinya “mengendalikan” arti siasah adalah
pengendalian. Sais dalam bahasa kita berarti kusir delman, pekerjaannya
mengendalikan kuda. Kata siasah juga telah biasa diartikan dalam bahasa
indonesia sebagai politik. Agar tidak mengurangi makna, dalam pengkajian ini
biarlah kita sebut siasat saja.
Da’wah sebagaimana kita kenal adalah upaya mengajak
manusia kejalan Allah, dilakukan dengan hikmah dan bijaksana. Sehingga mereka
(manusia yg di da’wahi) itu keluar dari kejahiliyahan menuju
cahaya Islam. Maka siasatud da’wah adalah “suatu upaya
optimal mendayagunakan semua sumber potensi da‘wah atas dasar prinsip-prinsip
yang jelas untuk mencapai tujuan tinggi dengan merealisir sasaran-sasaran yang
telah ditentukan.”
Siasatud da‘ wah merupakan istighlalul
amtsal yaitu usaha yang sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, baik
kualitas maupun kuantitas, untuk mengarahkan semua sumber daya da’wah yang
dimiliki gerakan Islam. Bukan hanya yang berbentuk materi, tetapi seluruh yang
ada dalam ruang lingkup da‘wah. Dalam hal ini termasuk situasi kondisi ,
pribadi -pribadi , serta lembaga - lembaga baik yang dimiliki umat Islam maupun
musuh-musuh nya. Setiap du’at harus pandai melakukan intifa (pemanfaatan) potensi, baik yang ada pada
umat Islam maupun lawan-lawan Islam dalam perjuangan da’wah Rasulullah SAW juga
melakukan beberapa pemamfaatan ini,
sebagai contoh:
a- Tatkala Rasulullah berada di Mekkah paman beliau
yang disegani masyarakat Quraisy selalu membela. padahal Abu Thalib
masih kufur. Perlindungan Abu Thalib tidak diminta oleh Rasulullah, tetapi
di perguganakan sebesar-besarnya untuk
Islam.
b- Tatkala Rasulullah hijrah bersama Abubakar ,
beliau dikejar-kejar oleh Saraqah bin Malik yang mengharapkan hadiah besar dari
para penguasa Quraisy untuk membunuh Nabi, berulangkali kuda Suraqah berhasil
berada di belakang unta Nabi tetapi setiap akan mendekat selalu kuda itu jatuh
berlutut, akhirnya Suraqah menyerah. Ia sangat takut pada Nabi dan Abu Bakar,
karena takutnya, ia malah minta surat jaminan
perlindungan pada nabi agar tidak dibunuh, Nabi bersedia asalkan Suraqah
bersedia balik ke Makkah kembali dan mengatakan pada para pengejar yang lain
bahwa Nabi dan Abu Bakar tidak berada di
jalan itu. Maka pulanglah Suraqah dengan membawa pesan Nabi itu.
Dua peristiwa itu menunjukan
upaya Nabi memanfaatkan orang-orang kafir. Berdasarkan pola Nabi
SAW diatas, harus diingat beberapa unsur
:
1- Pemanfaatan itu untuk maju dan berkembangnya da’wah bukan untuk
kepentingan priibadi
2- Pemanfaatan tersebut tidak
dengan menjual kebenaran kepada orang-orang kafir tersebut. Harga da‘wah harus tetap tinggi tidak boleh rendah .
3- Memberikan jaminan atau
perlindungan bagi kafir-pun boleh asalkan diminta dengan imbalan selamatnya
da‘wah dan penggerakan Islam.
4- Tidak mengandalkan dan mengkalkulasikan
pertolongan Allah yang menyalahi sunatullah yang berlaku. Seperri jatuhnya kuda
Suraqah merupakan pertolongan Allah yang ghaib. Ini tidak boleh di perhitungkan
sebagai suatu andalan kekuatan. Dengan demikian, nyatalah siasatud da’wah harus
berdiri sendiri di atas prinsip yang
jelas dalam arti tidak melanggar aqidah, fiqrah, minhaj, dan akhlak Islam.
HUBUNGAN SIASATUD DA’WAH DENGAN
MABADI ISLAMIYAH
Adanya siasat tidak berarti kita boleh melarutkan
diri dalam kancah politik tanpa disiplin harakah. Sesungguhnya Dienul Islam
tidak bisa melepaskan diri dari prinsip-prinsip dasar (mabadi) yang menjadi
tonggaknya. Bila ada upaya melepas dien, berarti telah melakukan kekeliruan
yang fatal. Adanya banyak da’i yang larut dalam kancah jahiliyah dengan alasan
siasatud da’wah. Mereka berupaya untuk meng-Islamisasi struktur, namun ternyata
jatuh dilembah kenistaan, menjual ayat-ayat Allah dengan harga dunia yang murah
dan sedikit. Ini tidak lain karena da’i tersebut tidak memiliki kekokohan
mabadi al-Islamiyah.
Seorang da’i harus bebas dari vested interest dan
motivasi-motivasi diluar mardhatillah. Islam selalu memotivasi ummatnya untuk
menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidupnya. Siasatud da’wah-pun tidak boleh
lepas dari tujuan li’illaa’i kalimatillah, untuk mengangkat/meninggikan kalimat
Allah. Dalam mendefinisikan fi sabilillah Rasulullah bersabda :
“Barang siapa berperang agar
kalimat Allah tetap tinggi itulah yang fi sabilillah” - HR Bukhari-Muslim.
Dalam siasatud da’wah tujuan merupakan faktor yang
sangat esensial. Mardhatillah adalah satu-satunya tujuan tiada perubahan dan
pergantian. Bila tujusn ini menyimpang, maka semua perencanaan tiada artinya.
Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, ditentukanlah sasaran-sasaran yang
berdasarkan ijtihad amal jama’i. Langkah-langkah yang digariskan disini berarti
fleksibel, dapat berubah sesuai kebutuhan. Sasaran-sasaran siasatud da’wah
merupakan sarana mencapai tujuan (ghoyah).
PATOKAN OPERASIONAL SIASATUD
DA’WAH
Siasatud da’wah baru akan efektif bila memiliki
patokan yang khas dalam aplikasinya. Patokan ini merupakan persyaratan
operasional siasatud da’wah. Kitabullah telah memberi isyarat bagaimana bentuk
patokan ini :
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain, katakanlah “akan aku bacakan
sebagian kisahnya kepada kalian”. Sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan
(posisi)-nya dimuka bumi dan Kami memberikan kepadanya jalan untuk mencapai
segala sesuatu. Maka dia-pun menempuh suatu jalan” (QS Al Kahfi : 84-85).
1. Posisi yang kokoh
yaitu adanya
policy maker yang punyaposisi dan
otoritatas penuh dalam penentuan
kebijaksanaan da’ wah . Posisi ini tidak boleh dipandang sebagai tasyrif / kemulyaan tetapi sebagai taklip
/ pembebanan yang harus ditunaikan
dengan penuh tanggungjawab .
penanggugung jawab da’wah muncul
karena dipilih dengan suatu kriteria
yang bersumber dari kitabullah dan sunah
Rosul . peleksanaanya melalui Syuro
jamaah gerakan da’ wah yang bersangkutan.
Berdasarkan bimbingan Alloh dan
teladan Rosul saw seorang peminpin da’ wah di samping harus bertaqwa mestilah orang yang paling banyak
pengetahuan dan paling sehat / kuat phisiknya (QS Al - Baqarah : 247 )
2. Adanya potensi - potensi
Sarana
Gerakan da’wah mesti memanfaatkan seefektif dan
seefisien mungkin potensi da’wah yaitu sarana-sarana yang berada dalam tatanan
perencanaan. Maka sang pemimpin mutlak harus memiliki isti’ab haimanatul tadhir
(kemampuan menguasai perencanaan).
Segala bentuk kekuatan ummat hendaknya digerakan
sesuai dengan perencanaan tersebut, bahkan jika dianggap perlu dapat pula
menggerakan sarana-sarana yang dimiliki musuh. Kekuatan yang digerakan ini ada
dua bentuk, bisa berupa manusia (main power) juga bisa berupa harta; keduannya
harus dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin.
3. Langkah-langkah pelaksanaan
Posisi yang kokoh dan prasarana yang kuat harus di
realisir dalam langkah -langkah yang pasti
dan akurat . Maka potensi-
potensi umat bisa dirubah menjadi
kekuatan da ‘ wah berdasarkan acuan progam yang jelas dan terarah.Langkah -
langkah ini ditentukan melalui Syuro dengan menimbang kebutuhan medan da
wah.sesungguhnya tujuan utama tidaktercapai bila tidak ada upaya melaksanakan
sasaran-sasaran perjuangan yang telah ditentukan.
Perancangan da’wah mendaknya melihat faktor sebab
akibat yang berlaku pasti dalam sunatullah. Tidak boleh mengharapkan adanya
mujizat karena ini merupakan urusan Allah semata. Memang tentara Allah pasti
akan mendapat pertolongan, tetapi ia akan datang setelah kita konsisten
berpijak pada sebab-sebab kemenangan tersebut. Jadi pertolongan ghaibiyah tidak
bisa dikalkulasikan sebagai potensi kekuatan. Kita tetap bertawakal kepada
Allah tetapi dengan tidak melepaskan unsur usaha. Inilah makna tawakkal yang
sesungguhnya. Sewaktu hijrah, Rsulullah dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur
untuk menghindari kejaran orang-orang kafir Quraisy. Bersembunyi ini merupakan
siasatud da’wah. Selama tinggal di gua tersebut Rasulullah telah mengatur agar
Asma bin Abu Bakar mengirim makanan dengan cara yang sangat rahasia sehingga
jejaknya tidak diketahui oleh musyrikin Quraisy.
Perjalanan Asma yang datang dengan sangat rahasia itu
diikuti oleh seorang pengembala kambing yang membawa gembalaannya, sehingga
jejak kaki Asma tidak kelihatan. Ini suatu upaya yang sangat jenius.
Didalam gua Tsur Abu Bakar menutupi lubang-lubang
ular dengan sobekan kain. Ini menunjukan usaha Abu Bakar dan tidak mengandalkan
pada mujizat yang pasti akan menolong Nabi. Sewaktu nabi tertidur dipangkuan
Abu Bakar, Abu Bakar menutup salah satu lubang ular dengan kakinya seekor ular
menggigit kaki Abu Bakar sehingga membuatnya kesakitan. Karena sedemikian
hebatnya gigitan ular terhadap Abu Bakar beliau-pun menangis, air mata Abu
Bakar jatuh dipipi Rasulullah sehingga membuat Rasulullah terbangun, ketika
Rasulullah bertanya pada Abu Bakar apa yang terjadi, Abu Bakar berkata : “jika
Aku mati ya Rasulullah maka aku hanyalah seorang pribadi, tetapi bila engkau
yang wafat maka engkau adalah ummat.”
Rasulullah menenangkan hati Abu Bakar dengan sabdanya
yang terkenal : “Wahai Abu Bakar, bagaimanakah pendapat kamu tentang dua
orang dimana Allah merupakan yang ketiga dari keduanya”.
MENDAYAGUNAKAN POTENSI BASIS SOSIAL
DALAM SIASATUD DA’WAH
Kita menyadari sepenuhnya bahwa satu-satunya sumber
kekuatan adalah Allah SWT. Laa haula walaa quwwata illa billah. Sedangkan
jama’ah gerakan da’wah lembaga ibadah untuk mendekatkan diri pada sumber
kekuatan itu. Dengan demikian jama’ah akan berfungsi sebagai central yang
menampung kekuatan Ilahi (markazul quwwah).
Kekuatan utama gerakan da’wah adalah para anggota
gerakan tersebut. Mereka merupakan basis operasional seluruh aktifitas gerakan.
Tetapi mereka tidak akan ada artinya tanpa dukungaan masyarakat. Umat Islam
adalah power base/pangkalan kekuatan, maka kekuatan menjadi sia - sia ,
lantaran itu kita sama sekali tidak boleh meninggalkan pangkalan kekuatan ini.
Masyarakat sama sekali jangan
diabaikan sebagai landasan tempat bertolaknya harakah Islamiah. Mereka yang
terisolir dari masarakatnya, semua potensi masyarakatnya, semua potensi
kekuatanya akan terkuras habis. Hendaknya masyarakat/umat Islam berfungsi
sebagai landasan pesawat yang mampu menampung berbagai pesawat terbang canggih.
Salah satu rahasia mengapa Rasulullah
hijrah ke madinah berhubungan langsung dengan pertimbangan basis
masyarakat. Selama 13 tahun berda’wah di
Makkah Rasulullah belum juga berhasil
membetuk qaidah ijtimaiyah.
Upaya ke arah itu telah maksimal , seperti dawah Rasulullah yang di mulai pada keluarga beliau
sendiri, kemudian upaya mengumpulkan para pemuka kabilah untuk diajak masuk
Islam tetapi semua gagal. Rasulullah juga berusaha mencari basis masyarakat di
Tha‘ if tapi bukan sambutan yang baik
terhadap da‘wah tetapi sambitan - sambitan batu yang kejam menimpa tubuh
Beliau.
Rupanya Allah menghendaki
Yatsrib kelak bernama Madinah -
menjadi basis sosial da‘wah .padahal penataan da‘wah di kota ini di
bentuk seorang da’i muda Mush’ab bin Umair selama kurang dari dua (2)tahun
saja, memang ada beberapa faktor yang memungkinkan mudahnya penerimaan da‘wah
di Madinah antara lain :
1. Masyarakat Madinah umumnya
terdiri dari kaum muda yang mudah menerima perubahan sosial, kaum tua kota ini
banyak yang mati dalam perang Bu’ats yang berlangsung sebelum kedatangan Islam
sepanjang 40 tahun lamanya.
2. Masyarakat Madinah ini
terdiri dari dua kabilah Aus dan Kazraj yang berseteru karena adu domba-adu
domba yahudi. Setelah kedatangan Islam mereka menyadari kekeliruan mereka dan
bersatu mendukung ajaran Rasulullah.
Seusai hijrah Rasulullah mempersaudarakan kaum
Muhajirin (basis operasional da’wah) dari Makkah dengan kaum Anshor, maka
tampilah kaum Anshor (penduduk Madinah) sebagai basis sosial da‘wah yang
handal. Demikian pentingnya basis sosial ini sehingga Rasulullah SAW perlu
hijrah untuk memperolehnya. Saat ini ummat Islam merupakan basis sosial yang
langsung dapat terlibat dalam harakah. Interaksi dan pengenalan lingkungan masyarakat adalah salah satu faktor
sukses da’wah.
MEMBINA
BASIS SOSIAL DENGAN SIASATUD DA’WAH
Pada
masyarakat, manusia adalah inti kekuatan (quwwatul basyariyah). Ia disebut
sebagi main power. Kekuatan bukan terletak pada perlengkapan senjata, kehebatan
ekonomi, atau kemegahan sarana-sarana fisik lainnya. Bagaimanapun hebatnya
semua itu sangat ditentukan oleh manusia yang mengelolanya.
Manusia
terdiri dari ruh, akal dan jasad. Tiga unsur ini adalah sumber kekuatan
manusia. Siasatud da’wah mulai membangun masyarakat dengan melakukan pembinaan
terhadap tiga unsur kekuatan ini. Da’wah membangun ruh yang suci dan bersih,
dekat dengan Allah, menjadi penggerak dan daya dorong bagi seluruh aktifitas
kehidupannya. Ia harus menjadi kokoh dan kuat tidak terpengaruh oleh segala
bentuk kerusakan moral di tengah manusia.
Da’wah membangun akal yang cerdas dan berkhidmat
pada ketinggian Islam. Berfikir qur’ani dan mampu memecahkan masalah ummat
dengan sudut pandang yang Islami. Ia tidak terpengaruh dengan sudut pandang
pemikiran-pemikiran jahiliyah yang rendah dan menyesatkan. Da’wah juga membangun
jasmani yang sehat dan kuat dan mampu menanggung beban da’wah yang bagaimanapun
besarnya. Dari sini muncullah aktifitas Islami yang terkontrol oleh ruh yang
tinggi dan akal yang cerdas tadi. Kegiatan ini mestilah kegiatan yang menambah
ketinggian dan kemuliaan Islam. Bila masing-masing individu masyarakat telah
mencapai kondisi ini niscaya masyarakat akan terwarnai oleh Islam.
Para
personel da’wah hendaknya mengambil peranan untuk membentuk bi’ah dan bukannya
terbentuk oleh kondisi jahiliyah. Quwwah basyariyah yang dikehendaki minimal
membentuk opini umum yang Islami (ra’yul aam al Islami). Jelas tidak mungkin
keseluruhan masyarakat menjadi orang-orang harakah atau mendukung harakah.
Cukup mereka menjadi toleran terhadap gerakan Islam. Sasaran maksimal sudah
tentu terbentuknya bi’ah Islamiyah. Bila mencapai bi’ah harakiyah maka ini
suatu karunia Allah yang lebih besar lagi.
Bi’ah
Islamiyah ditandai dengan tersebar luasnya syi’ar-syi’ar islam, slogan-slogan
Islami muncul dimana-mana, para wanita umumnya berbusana muslimah, isu Islam
beredar ditengah-tengah masyarakat dan sebagainya. Sedangkan bi’ah harakiyah
adalah bi’ah jihad, dimana masyarakat senan tiasa siap menhadapi keadaan jihad.
Perlengkapan jihad (perang) dapat dijumpai dimana-mana dan masyarakat terkondisi
dengan suasana harakah.
Ada
4 tingkatan penerimaan masyarakat terhadap harakah Islamiyah yang dapat dicapai
:
1. Toleran (tasamuh) terhadap gerakan Islam, artinya tidak menganggap sebagai musuh. Harakah tidak diganggu tetapi dibiarkan tumbuh dan berkembang.
1. Toleran (tasamuh) terhadap gerakan Islam, artinya tidak menganggap sebagai musuh. Harakah tidak diganggu tetapi dibiarkan tumbuh dan berkembang.
2. Simpati (ta’athuf), dimana masyarakatpun
menaruh minat dan perhatian yang baik terhadap harakah. Meskipun mereka belum
turut kedalam kancahnya, tetapi telah ada rasa.
3. Cinta harakah (mahabbah), yaitu masyarakat
yang telah mengerti arti dan nilai-nilai harakah sehingga secara langsung ingin
terlibat didalamnya. Mereka siap untuk memberikan dukungan pada gerakan Islam.
4. Mendukung (ta’yid), yaitu masyarakat
terlibat langsung pada harakah dan membelannya dengan sekuat tenaga. Masyarakat
ini bahkan ingin terikat langsung dengan gerakan da’wah yang didukungnya. Ini
contohnya dalam masyarakat Madinah di masa Rasulullah SAW.
BENTUK APLIKASI PEMBINAAN
Dalam
marhalah ta’sis gerakan harakah tidak dapat muncul kepermukaan, sebab masih
melakukan sirriyatul tanzhim. Pada pergerakan da’wah Rasulullah di Mekkah,
tanzhim yang sirri ini berjalan dengan baik sekali. Bagaimanakah caranya kita
menghadapi kondisi kaum muslimin saat ini ?.
Selain
masyarakat juga cenderung melihat pada hal-hal yang dzohir, sehingga sering
kali malah mencurigai hal-hal yang sirr ini. Oleh karena itu kemunculan wakil
harakah secara dzohir merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Untuk itu
harakah sebaiknya mengambil kebijaksanaan menggunakan mizholah (payung) atau
wajihah (cover) yang tepat untuk berbagai posisi dan keadaan. Dengan cara ini
harakah dapat memenuhi tuntutan pembinaan masyarakatnya dengan tidak keluar
dari minhaj yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW.
Ada
2 bentuk wajihah yang dapat digunakan oleh gerakan da’wah :
Pertama, wajihah tanzhim yaitu wajihah yang
langsung terkait dengan salah satu struktur harakah. Gerakan da’wah mesti
memikirkan bagian-bagian yang melayani masyarakat dengan menggunakan penampilan
formal yang baik dan berkualitas. Wajihah ini harus dikendalikan dan dianggotai
sepenuhnya oleh orang-orang gerakan yang bersangkutan.
Kedua, wajihah amal, yaitu wajihah terkait
dengan personil-personil gerakan da’wah. Para amilin tercover oleh wajihah ini.
Didalamnya syakhsiyah gerakan Islam harus yang paling menentukan atau menjadi
policy maker, bila tidak maka potensi da’wah akan terkuras oleh kegiatan
wajihah yang sia-sia. Adapun untuk kesempurnaan aktifitas, wajihah boleh
memakai tenaga ahli dari luar gerakan da’wah.
Bagi
para personal da’wah wajihah amal ini paling tidak mesti mendapat 3 sasaran :
1- Penyebaran fikrah atau nasyrul fikrah
2- Menumbuhkan keahlian atau tanmiyatul
kafa’ah
3- Mendapat sumber pencaharian atau kasybul
maisyah
Kedua
wajihah diatas tergolong pada bentuk ihtikak atau sentuhan sosial internal,
yaitu kedalam gerakan Islam. Disisi lain, setiap personil gerakan da’wah wajib
mengembangkan hubungan sosial dengan ummat Islam. ‘Alaqah ijtimaiyah atau
hubungan sosial akan menjadikan mereka dikenal dan memberikan pengaruh pada
berbagai lapisan ummat. Tetapi hubungan ini tidak boleh menjadikan mereka
diprogram oleh masyarakat sehingga waktunya habis terkuras oleh
kegiatan-kegiatan yang tidak berarti bagi harakah. Hubungan ini semata-mata
untuk mewujudkan jalinan kekuatan ummat yang realistis.
Tanzhim
gerakan da’wah hendaknya memunculkan pula syakhsiyah-syakhsiyah yang dapat
dijadikan teladan oleh ummat dari gerakan tersebut. Syajhsiyah ini harus
memiliki bobot yang mungkin untuk menjadi tokoh masyarakat. Memiliki keikhlasan
beramal, tidak senang tampil, punya kemampuan syar’i, berakhlaq mulia dan dapat
dicintai masyarakat. Hal ini penting karena ia akan diprogram menjadi qiblat
fikriyah yang ditokohkan oleh masyarakat.
Kemunculan
tokoh ini hendaknya disokong personil-personil gerakan, wajihah-wajihah dan
berbagai perangkat jama’ah lainnya. Tetapi hubungannya dengan gerakan da’wah
hendaknya tidak diketahui umum.
ANALISIS
DALAM KEBIJAKSANAAN DA’WAH
SIASATUD
DA’WAH
Dalam
mempersiapkan personil-personil harakah yang terlibat dalam wajihah-wajihah,
perlu diperhatikan beberapa hal :
1.Wajihah tanzhim merupakan penjelmaan bidang-bidang
struktural yang perlu mengadakan ihtikak ijtima’iy atau sentuhan ke masyarakat.
Ia termasuk dalam wilayah tanzhimiyah atau bidang organisasi. Oleh karena itu
personilnya harus orang-orang struktur harakah itu sendiri. Tidak bisa
melibatkan orang-orang dari luar.
2.Wajihah amal merupakan penjelmaan aktifitas anggota
harokah yang membutuhkan mizholah/payung sebagai tuntutan riil dalam
bersentuhan dengan masyarakat. Wajihah ini termasuk dalam wilayah masailiyah.
Maka mizholah ini boleh melibatkan orang-orang yang tidak punya hubungan
struktural dengan harakah tetapi harus dalam kontrol pribadi-pribadi yang
membuat mizholah tersebut.
Wajihah
amal tidak boleh mendapat perhatian yang lebih tinggi dari tugas-tugas
struktural yang diberikan jama’ah. Sebab kerja jama’ah berorientasi pada
prioritas pencapaian da’wah, mengandung nilai jihad fi sabilillah dan memiliki
sasaran masa depan yang besar. Sementara dalam aktifitas wajihah amal meskipun
juga bernilai ibadah tetapi sasarannya masih memiliki unsur yang sifatnya
pribadi, misalnya kasybul ma’isyah. Aktifitas tanzhimi lahir dari syuro yang
resmi tanzhim sedangkan aktifitas wajihah amal terkadang merupakan
kebijaksanaan pemimpin wajihah semata.
Seringkali
ada saja ikhwah yang larut dengan aktifitasnya sendiri dalam wajihah amal yang
tidak terkontrol oleh jama’ah. Karena terlalu banyak personil da’wah yang
terlibat maka ia membawa kondisi ini pada kesibukan jama’ah atau melalaikan
tugas tanzhimi. Lantaran itu personil jama’ah di dalamnya sebaiknya berasal
dari satu koordinasi/tansiq agar tidak menimbulkan kerancuan aktifitas.
Perlu
dicatat bahwa tidak semua bidang struktural dan aktifitas ikhwah perlu kepada
mizholah, tergantung pada tuntutan kenyataan.
Untuk
itu dalam mempersiapkan pola ke dalam atau keluar ini hendaknya berdasarkan
analisis. Kita menyadari bahwa potensi kita saat ini masih sedikit. Sehingga
agar peletakan potensi ini seefisien mungkin, analisis harus selalu dilakukan.
Dalam melakukan analisis, para ikhwah hendaknya memperhatikan :
1.Pengalaman masa lalu ( at tajribah al madhiyah )
untuk dijadikan ibrah, firman Alloh SWT : “ Ambilah pelajaran hai orang-orang
yang berfikir “ (59:2). Ibrah/pelajaran dari peristiwa masa lalu ini kemudian dikaitkan dengan
2.Realita masa kini ( al haqiqah al hadhiroh ) yang
biasanya merupakan produk berbagai fihak dan kepentingan yang nyata : “ Hai
orang-orang yang beriman jika kamu pergi berjuang fi sabilillah hendaknya kamu
mencari kejelasan seterang-terangnya ” ( 4:49 )
3.Prospek/perkiraan di masa datang ( at tawaqu’at al
mustaqbaliyah ). “ Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Alloh
dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok “ ( 59:10 )
Berdasarkan
tiga hal inilah kita membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan jama’ah ( qororot
jama’iyah )
Betapapun
kebijaksanaannya suatu qororot sebagai hasil analisis dan syuro siasat da’wah,
pasti akan ada reaksi dalam pelaksanaannya. Bila reaksi itu positif maka perlu
kita kembangkan dan tumbuhkan. Sedangkan reaksi yang negatif hendaknya kita
ilaj ( perbaiki ).
Suatu
qororot ( kebijakan ) dalam tanzhim tidak bisa dituding salah hanya karena ada
dampak negatifnya. Ia telah merupakan suatu hasil ijtihad yang memiliki nilai
di sisi Alloh. Seorang yang berijtihad salah, dia akan mendapat nilai satu
pahala. Karena itu dampak negatif menjadi tanggung jawab seluruh elemen tanzhim
untuk mengatasinya.
Sisi
lainnya da’wah ini akan menghadapi dua kemungkinan yang senantiasa terjadi :
1.Minhah/karunia yaitu pemberian Alloh yang penuh
dengan hidayah dan bimbingan ilahiyah yang memuaskan hati ( 5:7 dan 6:90 ). Dalam menghadapi ni’mat ini
hendaknya kita dapat fakkur fi ni’matillah ( memikirkan ni’mat Alloh ) kita
wajib bersyukur karenanya.
2.Mihnah/Ujian yaitu pemberian Alloh sebagai cobaan
bagi keimanan dan keislaman kita ( 47:31 29:2-24 dan 3:142 ). Dalam pada itu
mihnah membuat kita tafakkur fillah ( merenungkan kebesaran/keagungan Alloh ).
Kita seharusnya sabar dalam menghadapi kondisi mihnah ini.
Dua
sisi da’wah ini akan selalu kita rasakan dalam perjalanan da’wah. Ini merupakan
sunnatulloh yang wajar dan mesti terjadi. Setiap mu’min bersikap syukur
terhadap ni’mat dan bersabar terhadap mihnah. Kedua sikap ini terhimpun dalam
tsabat yang menjadi senjata para nabi untuk menghadapi berbagai kondisi da’wah.
Firman Alloh SWT. :
“
Dan berapa banyak dari para nabi yang berperang bersama dengan mereka
ribbiniyun ( orang-orang rabbani ) yang banyak. Mereka tidak menjadi wahn (
lemah moral ) terhadap apa yang menimpa mereka, mereka tidak menjadi lemah atau
pasif dan Alloh mencintai orang-orang yang sabar “ ( 3:146 ).
MENDAYAGUNAKAN
POTENSI BASIS SOSIAL DALAM SIASATUD DA’WAH
Kita
menyadari sepenuknya bahwa satu-satunya sumber kekuatan adalah Alloh SWT. Laa
Haula Walaa Quwwata Illa Billah. Sedangkan jama’ah gerakan da’wah adalah
lembaga ibadah untuk mendekatkan diri pada sumber kekuatan itu. Dengan demikian
jama’ah akan berfungsi sebagai sentral
yang menampung kekuatan ilahi ( markazul quwwah ).
Kekuatan
utama gerakan da’wah adalah para anggota gerakan tersebut. Mereka merupakan
basis operasional seluruh aktifitas tersebut. Tetapi mereka tidak akan ada
artinya tanpa dukungan masyarakat. Ummat Islam adalah power base/pangkalan
kekuatan maka kekuatan menjadi sia-sia lantaran itu kita sama sekali tidak
boleh meninggalkan pangkalan kekuatan ini.
Masyarakat
sama sekali jangan diabaikan sebagai landasan tempat bertolaknya harakah
islamiyah. Mereka yang terisolir dari masyarakatnya semua potensi kekuatannya
akan terkuras habis. Hendaknya masyarakat/ummat Islam berfungsi seperti
landasan pesawat terbang yang mampu menampung berbagai jenis pesawat terbang
canggih.
Salah
satu rahasia mengapa Rasululloh hijrah ke Madinah berhubungan langsung dengan
pertimbangan basis masyarakat. Selama 13 tahun berda’wah di Makkah rasululloh
belum juga berhasil membentuk qoidah ijtima’iyah. Upaya kearah itu telah
maksimal, seperti da’wah Rasululloh yang dimulai pada keluarga beliau sendiri.
Kemudia upaya mengumpulkan para pemuka kabilah diajak masuk Islam. Tetapi
semuanya gagal. Rosululloh juga berupaya mencari basis masyarakat di Tha’if
tapi bukan sambutan terhadap da’wah yang didapat tetapi sambitan-sambitan batu
yang kejam menimpa tubuh beliau.
Rupanya
Alloh menghendaki Yatsrib – kelak bernama Madinah – menjadi basis sosial
da’wah. Padahal penataan da’wah di kota ini dibentuk seorang da’I muda Mush’ab
bin Umair selama kurang dari 2 tahun saja. Memang ada beberapa faktor yang
memungkinkan mudahnya penerimaan da’wah di Madinah, a.l. :
1.Masyarakat Madinah umumnya terdiri dari kaum muda
yang mudah menerima perubahan sosial. Kaum tua kota ini banyak yang mati dalam
perang Bu’ats yang berlangsung sebelum kedatangan Islam, sepanjang 40 tahun
lamanya.
2.Masyarakat Madinah ini terdiri dari dua kabilah Aus
dan Khazraj yang berseteru karena adu domba Yahudi. Setelah kedatangan Islam
mereka menyadari kekeliruan mereka dan bersatu mendukung ajaran Rasululloh.
Seusai
hijrah Rasululloh mempersaudarakan Muhajirin ( basis operasional da’wah ) dari
Makkah dengan kaum Anshor. Maka tampillah kaum Anshor ( penduduk Madinah )
sebagai basis sosial da’wah yang handal.
Demikian
pentingnya basis sosial ini sehingga Rasululloh SAW. Perlu hijrah untuk
memperolehnya.
Saat
ini ummat Islam merupakan basis sosial yang langsung dapat terlibat dalam
harakah. Maka kompleksnya … ?
ASPEK-ASPEK
PERTUMBUHAN HARAKAH ISLAMIYAH
SIYASATUD
DA’WAH
1.
Aspek-aspek pertumbuhan harakah
(
numu roshidul harakah )
Dalam
harakah islamiyah yang dikatakan asset adalah manusia pendukung harakah
tersebut. Jama’ah gerakan da’wah tidak memiliki kekayaan harta benda, kantor,
bidang-bidang usaha dan lain sebagainya; tetapi ia memiliki manusia yang
menjadi anggotanya. Jadi ia berbeda sama sekali dengan syarikat tijariyah atau
organisasi-organisasi dalam pandangan sekuler.
Dalam
rangka menegakkan tugas khilafah, jama’ah harus senantiasa berkembang, tidak
boleh statis atau mandeg. Perkembangan ini berlangsung dengan pertumbuhan
jumlah asset yang dimiliki harakah. Untuk itu setiap anggota gerakan hendaknya
ofensif dalam melakukan rekruiting dan pembinaan melalui halaqoh-halaqoh yang
terus berkembang. Pola halaqoh ini adalah cara pertumbuhan yang paling khas
dalam harakah da’wah.
Pertumbuhan
asset harakah memiliki tiga sisi yang tidak bisa terpisah satu dengan yang
lain. Numul kamiyah ( pertumbuhan kuantitas ), numul nau’iyah ( pertumbuhan
kualitas ), numul qudroh ( pertumbuhan kapasitas/kemampuan ).
A.
Pertumbuhan kuantitas ( numul kamiyah )
Seluruh
pertumbuhan harakah harus melalui tarbiyah. Lantaran itu jama’ah mesti
meningkatkan kualitas pembinaan baik tarbiyah qobla tanzhim atau ba’da tanzhim.
Berbagai upaya hendaknya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan setiap akh
mentarbiyah sehingga mereka yang terbina dengan gerakan da’wah kita memiliki
kualitas harakah yang baik. Semakin banyak masyarakat tertarbiyah maka semakin
baik pertumbuhan harakah.
Tarbiyah
harakiyah ( pembinaan sebelum
penggabungan dengan gerakan ) merupakan pintu gerbang berpartisipasinya
seseorang dengan jama’ah. Semakin banyak jumlah anggota yang inti maka semakin
harus ketat pola tarbiyah yang dilakukan oleh karena pintu masuk jama’ah
semakin banyak. Kualitas tarbiyah harus selalu ditingkatkan dari waktu ke
waktu.
Untuk
menumbuhkan hal-hal yang menunjang gerakan, tarbiyah juga memegang peranan
utama. Dalam melahirkan para spesialis misalnya perlu dauroh-dauroh atau
tarbiyah takhassusiah. Kita tidak mungkin melahirkan seorang pakar ekonomi
Islam misalnya, tanpa melalui pembinaan terlebih dahulu. Demikian pula tidak
mungkin lahir seorang sosiolog Islam atau ahli politik Islam tanpa tarbiyah.
Kendatipun
begitu besarnya peranan tarbiyah ini, tetapi jama’ah tak boleh terjebak menjadi
jama’ah tarbawiyah atau jama’ah yang orientasinya semata tarbiyah. Gerakan kita
tak boleh semata-mata mengacu pada tarbiyah. Ia adalah gerakan yang syamil (
lengkap ) meliputi seluruh aspek hidup manusia. Bila kita terjebak pada harakah
tarbawiyah maka sama saja terperosok pada aspek yang juz’i ( sektoral ).
Unsur
yang paling pokok dalam pertumbuhan harakah ini adalah keharusan memperhatikan
:
1.
Pertambahan Pertumbuhan Jumlah.
Yaitu
melihat keselarasan jumlah du’at dengan mad’u yang ada dalam keseluruhan
pembinaan. Seringkali kita terjebak dengan benyaknya jumlah peminat da’wah
tetapi tidak bisa menanganinya secara berkualitas sehingga pada akhirnya tidak
menghasilkan pertambahan asset harakah. Atau jama’ah mengalami masa-masa sulit
yang membuat orang sukar untuk mengikuti kegiatan tarbiyah ini. Dalam pada itu
aktifitas tarbiyah hendaknya sesuai dengan situasi, kondisi, sikap-sikap
ataupun peristiwa-peristiwa di masyarakat yang meliputinya.
Agar
pertumbuhan jumlah ini selaras dengan kebutuhan harakah hendaklah ada al
muhafazhoh ‘alal haromud da’wah ( pemeliharaan piramida da’wah ). Tingkat-tingkat
fase pembinaan harus jelas dan tidak meragukan. Mulai dari tingkat al akh (
aktifitas ), para sa’id ( pendukung ), muhibbin sampai ke tingkat da’wah umum.
Tingkatan-tingkatan ini merupakan filter yang menjaga kesiriyahan aktifitas
da’wah. Lantaran itu tidak boleh ada filter yang mu’athol ( hilang ) oleh
karena lemahnya pembinaan.
2.
Penyebaran Potensi Harakah ( intisyarotut thoqotil
harakah ).
Hendaknya
potensi da’wah yang kita miliki menyebar sesuai dengan tuntutan medan da’wah
yang kita hadapi. Pembagian wilayah da’wah perlu memperhatikan pembagian
wilayah yang ada di masyarakat, tetapi tidak perlu persis sama.
Penyebaran
potensi bisa dilakukan secara individu maupun dengan nasyat harakah berbentuk
bi’tsah tarbawiyah. Dalam proses penyebarannya sudah tentu disesuaikan dengan
kebutuhan harakah serta daya dukung dari gerakan da’wah.
3.
Komposisi Kafa’ah-kafa’ah Yang Ada ( tarkibul kafa’at )
Dalam
permulaan yang sederhana, kafa’ah dalam harakah ini kita bagi atas tiga :
da’wah, ilmiyah dan fanniyah. Dalam satu unit harakah ( wihdah ) komposisi yang
ideal adalah 2-1-1 atau 50 persen da’wah sedangkan ilmiyah dan fanniyah
masing-masing 25 persen. Tetapi harus selalu diingat bahwa dalam penambahan
jumlah selalu terkait dengan arkan bai’ah, bukan kebutuhan kafa’ah itu sendiri.
Kebijakan juga harus memperhatikan pemamfaatan potensi yang lahir di medan
da’wah yang kita hadapi dan potensi hasil pembinaan dari luar.
B.
Pertumbuhan Kualitas Harakah ( numul nau’iyah )
Pertumbuhan
kualitas harakah mestinya mengikuti pertumbuhan kuantitas. Jangan sampai jumlah
aktifis lebih banyak tetapi aktifitas mereka menurun karena kualitas yang ada
semakin rendah. Pertumbuhan kualitas harakah mengacu pada tarqiyah (
peningkatan ) yang dilakukan baik dalam pembinaan qobla tanzhim maupun ba’da
tanzhim. Untuk meningkatkan kualitas ini setiap anggota gerakan da’wah
hendaknya meningkatkan interaksi dengan arkan bai’ah, sebab pertumbuhan
kualitas harakah sangat terpengaruh oleh sejauh mana interaksi dengan arkan
bai’ah ini berlangsung.
Ada
tiga unsur yang meningkatkan interaksi para asset harakah dengan arkan bai’ah :
- Syarat-syarat menjadi jundi ( syurutut tajnid ).
- Cara-cara pembentukan jundi ( kaifiyatut tajnid ).
- Cara-cara penilaian terhadap jundi ( kaifiyatut taqwim ).
Semakin
luas wilayah da’wah hendaknya diiringi dengan memberlakukan syurut tajnid
dengan seketat mungkin melalui tarbiyah-tarbiyah yang ada. Ketika jumlah kita
10 orang misalnya dengan interaksi syurut tajnid 1%, bila jumlah ini meningkat
menjadi 100 orang maka interaksi harus meningkat pula sampai 10%. Bila
pertumbuhan jumlah ini tidak diiringi pertambahan interaksi maka tidak mungkin
akan mampu mengatasi masalah yang akan timbul dalam pelayanan da’wah. Kemampuan
mengantisipasi masalah harakah ditentukan sekali oleh pertumbuhan interaksi
yang menentukan tingkat kualitas harakah ini.
Jama’ah
telah menjadikan tarbiyah sebagai ikatan yang tidak boleh lepas dari setiap al
akh. Ia berlaku madal hayah ( seumur hidup ). Tidak ada istilah pensiun
tarbiyah atau tidak butuh kepada tarbiyah. Tidak ada seorangpun dari anggota
gerakan da’wah yang boleh lepas dari tarbiyah.
Beberapa
Contoh Interaksi Harakah
Setiap
akh hendaknya senantiasa melibatkan diri dengan aktifitas harakah dan menerima
perkembangannya dengan lapang dada. Jangan bersikap sebagai penonton (
komentator ) yang kesana kemari hanya memberi penilaian saja. Sikap lapang dada
( insyirahus shodri ) merupakan faktor paling esensi untuk sanggup melaksanakan
tugas. Semakin kuat interaksi seseorang dengan harakah islamiyah, semakin
lapang dadanya dan semakin mampu melaksanakan tugas da’wah. Interaksi yang
lemah membuat dada sempit dalam menerima perintah dan tugas.
Contoh
suatu masyarakat yang lemah interaksinya dengan harakah adalah Bani Israil.
Berbagai peristiwa menunjukkan kelemahan mereka.
Tatkala
mereka minta pemimpin kemudian ditunjuk oleh Alloh mereka menolak dan berkata,
“
Bagaimana dia ( Thalut ) menjadi seorang raja padahal kami lebih berhak dari
padanya lagi pula dia tidak punya banyak harta, … “ ( 2:247 ).
Ini
kelemahan dalam mengantisipasi perkembangan struktural yang telah dipersiapkan
oleh nabi mereka.
Ketika
Alloh memerintahkan mereka untuk memotong seekor sapi betina, mereka menganggap
perintah itu sebagai ledekan. Mereka berkata kepada Nabi Musa :
“
Apakah engkau hendak menjadikan kami olok-olokan ? … “ ( 2:67 )
Sikap
ini menunjukkan kelemahan menerima perintah Alloh. Yaitu tiadanya kesiapan
untuk mengikuti petunjuk dan bimbingan Alloh.
Dalam
menanggapi ni’mat karunia Alloh mereka tidak puas, malahan minta diberi lebih
dari porsi yang ditentukan, kata mereka :
“ …
Hai Musa kami tidak bisa bersabar dengan satu macam makanan saja. Maka mintalah
kepada rabbmu agar Ia mengeluarkan bagi kami dari hasil buminya yaitu sayur
mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya … “ (
2:61 )
Karena
watak Bani Israil yang demikian , Nabi Musa bersikap rohabatus Shodr ( lapang
dada ). Sejak awal tatkala Alloh memerintahkan Nabi Musa AS. Menghadapi
Fir’aun, Nabi Musa pun memohon agar Alloh melapangkan dadanya, firman Alloh :
“
Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berkata Musa,
Ya rabbku lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku dan jadikanlah
untukku seorang pembantu dari keluargaku ( yaitu ) harun saudaraku, teguhkanlah
dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku … “ ( Thoha
:24-32 ).
Nabi
Musa menerima tugas yang sangat berat. Ia harus berbicara tentang kebenaran di
hadapan biang keladi kejahatan, raja yang zhalim dan sewaktu-waktu bisa
membunuhnya. Nabi Musa menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Alloh ia dapat
melaksanakan perintah ini dengan sukses, betapapun sulitnya perintah tersebut.
Maka pertolongan atau dukungan Alloh yang paling dimohonnya ada tiga :
1.
Alloh melapangkan dada dan memudahkan urusan.
Lapang dada ( insyirohus shodr ) memang mata rantai yang
tidak bisa putus dari kemudahan urusan ( taysirul umur ). Sebaliknya sempit
dada merupakan saudara kembar dari berbagai kesulitan. Seorang yang Alloh
berikan petunjuk Alloh bukakan hatinya untuk Islam. Sedangkan orang yang akan
sesat pasti sukar menerima arahan Islam. Firman Nya :
“
Barangsiapa yang Alloh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Alloh
kesesatannya, niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit. Seolah-olah
ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Alloh menimpakan siksa kepada
orang-orang yang tidak beriman “ (Al An’am:125 ).
Rasululloh
SAW pun setelah fatroh wahyu terus menerima surat Dluha dan surat Insyirah memperlihatkan kasih sayang Alloh melapangkan
hati Rasululloh agar dalam aktifitas harakah yang sulit akan menerima kemudahan
Inna ma’al ‘usri yusron inna ma’al ‘usri yusron.
2.
Alloh membuang uqdatul lisan dan membuat orang memahami
da’wah
Nabi
Musa membuang uqdatul lisan pada dirinya. Uqdatul lisan bukan berarti lidah
yang cadel, gagap atau tak pandai bicara. Tetapi lidah yang gemar ghibah,
senang mengumpat, mencari kesalahan orang, mengejek-ngejek dan berbagai sikap
tidak pantas dalam melakukan da’wah juga termasuk uqdatul lisan. Setiap al akh hendaknya menjauhkan diri dari
uqdatul lisan ini. Mereka satu sama lain hendaknya bersikap saling
bersahabat, saling merangkul, saling toleransi, saling membela dan sebagainya.
Ini untuk menimbulkan kesatuan kata yang dihadapkan pada objek da’wah. Dengan
keterbukaan hati dan benarnya pengucapan lidah maka orang akan mudah memahami
ajakan kita serta menyambutnya. Ia berpangkal pada saling memahami di antara
para juru da’wah dan selanjutnya membawa pemahaman pada objek da’wah.
3.
Alloh memunculkan para penolong dalam tugas da’wah ini.
Yaitu
para pendukung setia ( wazir ) yang merupakan orang-orang yang memiliki aqidah,
fikroh damn minhaj da’wah yang sama. Mereka adalah oramng-orang pilihan Alloh
untuk mendukung kebenaran. Seperti dukungan Alloh pada Nabi Musa dengan adanya
Harun sebagai wazir.
C.
Pertumbuhan Kemampuan ( Qudroh )
Kemampuan
dalam harakah sangat bergantung sejauhmana peningkatan dan kualitas dalam
harakah tersebut. Jama’ah qowiyah hanya akan terwujud bila memiliki suatu
jumlah yang memadai dan dengan mutu yang tinggi. Jumlah memadai di sini adalah
jumlah efektif untuk melakukan pengendalian masyarakat. Sehingga kemampuan
menguasai massa ini menjadi ukuran sejauhmana da’wah telah berkembang. Ingatlah
bahwa dalam harakah kita senantiasa melihat tiga faktor yang menjadi syarat
pengendalian ini;
1.Jumlah yang cukup untuk pengendalian masyarakat ( al
‘adad al kafiy )
2.Ghiroh ( semangat ) keimanan yang kuat ( ghiroh
qowiyah )
3.Kekuatan yang terorganisir atau tertata dengan rapi
( quwwah al munazhomah )
Banyak
organisasi-organisasi Islam yang mempunyai jumlah anggota lebih dari cukup
tetapi mereka tidak memiliki ghiroh qowiyah serta tidak tertata rapi. Akibatnya organisasi tersebut menjadi
permainan musuh-musuh Islam. Jumlah yang besar tanpa ghiroh dan penataan sama
halnya tubuh bongsor yang tidak berisi.
Ghiroh muncul bila doktrin-doktrin harakah
sudah melekat di hati kaum muslimin. Sedangkan penatan yang solid baru dapat
terwujud bila ummat yang berghiroh kuat itu mau menyatu dalam hizbulloh.
Dalam menggambarkan jumlah yang
berkualitaas dan berkemampuan, Alloh memperingatkan agar kita jangan ghurur
oleh banyaknya muslimin dalam suatu negeri. Sesungguhnya hanya yang
mengikuti sistem Alloh saja yang memiliki kekuatan tertata rapi. Mereka
memiliki pemimpin yang ikhlas, konsepsi yang jelas, pengikut yang taat serta
aktifitas yang kontinyu. Firman Allah,
“
Katakanlah : Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu
ke ( jalan ) Alloh dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Alloh dan aku bukan
termasuk orang-orang yang musyrik “ ( 12:108 )
3.
MENUMBUHKAN KEMAMPUAN MENGUASAI MASYARAKAT
(
numu al qudroh ‘ala saythorotisy sya’biyah )
Dalam
harakah setiap akh hendaknya memiliki keseimbangan pribadi sebagai syakhsiyah
jama’iyah dengan syakhsiyah ijtima’iyah. Sebagai syakhsiyah jama’ah al akah
merupakan personil jama’ah atau salah satu perangkat dari gerakan da’wah.
Sedangkan secara fungsional ia memiliki keterkaitan dengan masyarakat
da’wahnya.
Agar
keseimbangan ini terwujud maka setiap akh hendaknya memiliki al indibath al
qowiyah ( disiplin yang kuat ) dalam bersikap. Janganlah ia mengeluarkan bahasa
ijtima’iyah kepada afrad jama’ah yang dapat menimbulkan longgarnya ukhuwah.
Atau bahasa jama’ah kepada masyarakat yang menyebabkan terbukanya celah
amniyah. Di setiap tempat ada pembicaraan yang khas, sebagaimana dikatakan
orang, khotibu ahlid dunya bi lughoti ahlid dunya, wa khotibu ahlillah bi
lughoti ahlillah ( berbicaralah kepada ahli dunia dengan bahasa ahli dunia dan
berbicaralah kepada ahli Alloh dengan bahasa ahli Alloh ).
Ketika
kader-kader da’wah yang dibutuhkan oleh masyarakat telah tumbuh hendaknya
jangan sampai ada ruhul isti’la’ pada mereka yang bertugas di lapangan ataupun
pada mereka yang menumbuhkan. Setiap akh mempunyai tugas dan fungsi
masing-masing yang merupakan tanggung jawabnya di hadapan Alloh. Dalam
membentuk syakhsiyah ijtima’iyah, pada dasarnya kita tidak membangun tokoh yang
nantinya menjadi orang yang punya kedudukan istimewa. Sesungguhnya dalam
berjama’ah kedudukan ikhwah semua sama kecuali dalam tugas dan fungsi
penataannya. Ketaatan kepada qiyadah di semuaa sektor menjadi kesuksesan program
ini. Kepala rumah tangga misalnya bukan kedudukan yang enteng justru merupakan
kunci dan kekuatan jama’ah. Setiap kepala rumah tangga merupakan orang tua kita
dalam ahli Alloh ( kabirukum fi ahlillah )
Penguasaan
masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya enam jenis kader da’wah di
masyarakat berikut;
1.
Para khuthoba yang bersemangat ( al khotib al jamahiriy )
yaitu
mereka yang mampu menyampaikan pesan-pesan Islam dengan jelas dan terang, penuh
gairah dan dinamika. para khotib bersemangat muda yang menyampaikan hikmah (
pengetahuan ) orang-orang tua yang penuh pengalaman ( hikmatus syuyukh fi
hamasatus syabab ). Bukan semangat orang tua dengan pengetahuan pemuda yang
cetek. Para khutoba ini hendaknya mampu melakukan tahridh ( pengerahan massa ) dan
menumbuhkan tahmis ( semangat ) berdasarkan iman dan pengetahuan bukan emosi
dan kebencian.
2.
orang-orang faqih di tengah masyarakat ( al faqih asy sya’biy )
Yaitu
para ulama yang takut pada Alloh dan hidup di tengah-tengah masyarakat,
memberikan bimbingan dan fatwa-fatwa yang lurus dan benar tentang masalah yang
dihadapi masyarakat. Menjadi pendidik dan tempat bertanya yang tidak
menimbulkan keraguan dan perpecahan. Selalu menghidupkan toleransi antar
madzhab ( fiqh ) yang menjadi titik temu yang mempersatukan ummat. Dari itu ia
senantiasa dicintai, didukung dan dibela oleh masyarakatnya. Khotib jamahiriy
menjadi pendorong masyarakat ke jalan Alloh sedang faqih sya’biy membimbing
masyarakat dalam jalan Alloh. Dia bukan faqih jetset yang memberi fatwa berdasarkan
order tetapi benar-benar menyuarakan pimpinan Alloh dan RasulNya.
3.
Aktifitas kejama’ahan sosial ( Al Amal atau at ta’awuni al khoiriy )
Tujuan
utama dari aktifitas ini adalah memfungsikan masjid-masjid sesuai dengan
bimbingan Rasululloh. Untuk itu harus dibuat kerjasama sosial dengan berbagai
lapisan masyarakat untuk mendekatkan ummat pada masjid. Sasaran program ini
adalah memperkuat para da’i sebagai pelopor di berbagai bidang ( ta’zizud
da’iyah ). Para da’i kita hendaknya disokong sepenuhnya agar mampu menyantuni
massa ummat sehingga ia memiliki gengsi dan prestise yang tinggi yang membuat
ummat ikut pada arahannya. Biasanya masyarakat kita sangat patuh bila da’wah
dimulai dengan santunan yang memperhatikan kebutuhan mereka.
4.
Menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil ( masyru’ al iqtishodis sya’biy )
Harakah
turut meningkatkan taraf ekonomi ummat Islam yang pada umumnya masih sangat
lemah. Usaha-usaha ekonomi hendaknya usaha yang ringan, mudah dijangkau dan
memasyarakat. Berbagai klub, perhimpunan atau organisasi ekonomi kecil perlu
ditumbuhkan dan dibimbing oleh para da’i yang sekaligus menjadi pembimbing
rohani mereka. Sasaran program ini adalah agar masyarakat pendukung da’wah
dapat iktifa’ dzati ( berdikari ) di satu sisi dan di sisi lain bisa
mengendalikan laju ekonomi secara keseluruhan.
5.
Penerangan yang memasyarakat ( al i’lam as sya’biy )
Potensi
i’lam hendaknya tumbuh dari orang-orang yang memahami aqidah, fikrah dan manhaj
serta mundhobith ( disiplin ) dengan kebijaksanaan jama’ah agar pembentukan
ro’yul ‘aam ( opini umum ) sesuai dengan rancangan da’wah. Sebab bidang ini
merupakan titik rawan amni suatu gerakan da’wah. Pers yang ditumbuhkan dari
dalam adalah pers yang murah dan mudah dibaca oleh masyarakat. Bukan penampilan
elite yang membuat ummat enggan membacanya atau menyedot potensi harakah dalam
mengerjakannya. Yang penting bukan nama besar tetapi kemampuan menyebar dan
meluas dengan cepat dalam berbagai bentuknya yang ringan, buletin, brosur,
maklumat, majalah, koran dan aneka bentuk lainnya yang murah dan terjangkau.
Menyebar dari berbagai sumber dan dikerjakan cukup oleh setiap rumah tangga.
Selain
itu perlu menyokong pers ummat Islam yang telah ada agar memiliki ruh dan
fikroh Islami. Para pakar jama’ah hendaknya menyumbangkan tulisan-tulisan
bermutu pada pers yang dimiliki ummat Islam. Bila perlu kita mampu menumbuhkan
pers kaum muslimin menjadi pers harakah. Yaitu pers yang dikendalikan oleh
personil harakah kita.
Dalam
i’lam sya’bi perlu pula dimunculkan pendidikan Islam melalui radio-radio,
televisi dan sebagainya. Tentu melalui thoriqoh yang mungkin bisa ditempuh
dengan tidak meninggalkan unsur-unsur syar’i dalam penyajiannya.
3. MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PENGUASAAN BASIS
OPERASIONAL
(
numu qudroh al qo-idah al harakiyah )
Tumbuhnya
kemampuan basis operasional dalam melakukan aktifitas harakah tergantung
sejauhmana isti’ab personal tersebut terhadap binaud da’wah. Peningkatan
isti’ab binaud da’wah ini harus terus menerus dilakukan agar kepahaman terhadap
program da’wah semakin baik.
Jama’ah
da’wah kita ibarat rumah yang terdiri dari tampak dalam ( bina’ dakhiliy ) dan
tampak luar
(
bina khorijiy ). Seluruh penghuni rumah harus memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan kondisi rumah tersebut. Kemampuan itu amat berguna dalam
rangka berpartisipasi memfungsikan seluruh bagian rumah sebagai tempat bernaung
yang nyaman. Seperti layaknya sebuah rumah, di dalam jama’ah ini ada ruang
makan, ruang tidur, kamar belajar, ruang tamu, halaman dan sebagainya.
Seluruhnya harus berfungsi dan harus terus menerus mampu meningkatkan fungsinya
sebagai tadarruj dan tawazzun. Bila seluruh bagian rumah ini telah berfungsi
baik, rumah akan menjadi pemimpin di lingkungannya. Artinya jama’ah bisa
memimpin ummat secara keseluruhan dalam menegakkan Dienulloh.
Apa
yang menjadi isi rumah ini hanya diketahui oleh orang yang menjadi penghuni.
Sementara yang bukan penghuni cukup mengetahui halaman atau ruang tamunya saja.
Sesuai dengan bina da’wah maka ada dua bentuk isti’ab yang harus dikuasai
setiap akh, yaitu :
A.
Peningkatan Penguasaan Internal ( numu al isti’ab ad dakhiliy )
Bila
dalam syaithoroh ijtima’iyah kita wajib memiliki kemampuan untuk menguasai
masyarakat maka dalam beramal jama’i ke dalam ini kita harus memiliki
penguasaan ke dalam ( isti’ab dakhiliy ) yang memadai. Ada tiga sisi yang
menjadi pangkal peningkatan isti’ab dakhiliy :
1.
Kemampuan untuk meredakan masalah-masalah yang bergejolak di dalam tubuh
jama’ah ( al qudroh ‘ala tahay’atil umur al mu-tsiroh )
Biasanya
ada saja hal-hal yang sensasional yang terjadi dalam tanzhim misalnya terjadi
futur pada personil harakah. Bila ini dalam ruang lingkup tanggung jawabnya,
seorang akh yang baik mampu mengantisipasi dengan meredakannya. Ia juga bisa
mengalokasi masalah yang ditimbulkannya agar tidak berkembang atau menyebar
pada bagian lain. Untuk itu setiap akh hendaknya memiliki kemampuan mengilaj
masalah sehingga menjadi positif.
2.
Mendisiplinkan mekanisme struktural organisasi ( indibath al ijro-at
tanzhimiyah )
Jangan
mengandalkan orang-orang tertentu mengilaj masalah.
3.
Memobilisasi bantuan dengan stok persaudaraan ( al khishnul ukhowiy ).
Dalam
mengatasi berbagai masalah yang timbul ada dua bentuk ilaj yang dapat dilakukan
:
Pertama,
ilaj tarbawi yang dilakukan dengan mengefektifkan wasail tarbawi yang ada.
Seperti menyertakan ilaj dalam tarbiyah tsaqofiyah, mabit, liqo’ usari,
mukhoyyam, rihlah dan sebagainya. Ilaj tarbawi biasanya mengarah pada :
a.
peningkatan ruhiyah
b.
peningkatan kefahaman serta
c.
peningkatan ukhuwah
Kelemahan
dalam tiga unsur inilah yang sering menimbulkan masalah sehingga harus
senantiasa mendapat perhatian dari setiap elemen gerakan.
Kedua, ilaj tanzhimi seperti dengan :
a. Meningkatkan suasana lingkungan
persaudaraan dalam tubuh jama’ah ( ra’fu al bi’ah ikhowiyah )
b. Memperbaiki penugasan ( ishlahut
tawzhif ) baik dalam posisi yang diberikan ataupun cara penugasan.
c.
Melalui mekanisme struktural ( ijro-at tanzhimiyah ) yang ada.
B.
Peningkatan Penguasan Eksternal ( numu al isti’ab al khorijiy )
yaitu
kemampuan setiap personil da’wah untuk menutupi tuntutan-tuntutan dari luar
jama’ah ( taghtiyatu al mutathollabat al harakiyah ). Ini harus selaras dengan
daya dukung yang dimiliki oleh jama’ah. Tuntutan-tuntutan itu biasanya terdiri
dari tuntutan;
1.
Pembinaan ( tarbiyah ) yang muncul di tingkat ta’sis jama’ah.
2.
Pembekalan pengetahuan ( tatsqifiyah ) sebagai upaya mencerdaskan bangsa.
3.
langkah-langkah politis ( siyasiyat ) untuk mengendalikan masyarakat dengan
program Islam.
4.
Peningkatan ekonomi ( iqtishodiyah ) ummat untuk menumbuhkan kemandirian dalam
mobilisasi da’wah dan harakah.
5. Dan lain-lain.
Dalam mengantisipasi kebutuhan ummat
hendaknya setiap personil harakah senantiasa memperkecil front ( ‘adamu
ta’addudil jabahat ) dan memperbesar jumlah pendukung da’wah. Menghancurkan
kekufuran yang mengakar hendaknya dari dasar dengan mempreteli kekuatan
penunjang yang dimiliki lawan. Firman Alloh :
“ Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka
telah mengadakan makar, maka Alloh menghancurkan rumah-rumah mereka darinya,
lalu atap ( rumah itu ) jatuh menimpa mereka dari atas dan datanglah azab itu
kepada mereka dari tempat yng mereka tidak sadari “ ( 16:26 ).
4.
MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BASIS KONSEPSIONAL
(
numu qudroh al qo-idah al fikriyah )
Dalam
basis operasional ( qo-idah harakiyah )
tenaga yang dibutuhkan tidak perlu tenaga spesialis ( mutakhossis ). Biasanya
ikhwah yang memiliki potensi multi dimensi
( generalis ) justru lebih efektif bekerja di lapisan ini. Ini
disebabkan tuntutan medan da’wah yang dihadapi sekarang ini masih dasar dan
belum mendalam. Sedangkan dalam basis konsepsional ( al qo-idah al fikriyah )
kita justru harus berorientasi pada penumbuhan orang-orang spesialis (
mutakhossisin ). Ini disebabkan lapisan ini harus memikirkan proyeksi masa depan
gerakan da’wah dan tuntutan-tuntutan yang akan datang di masa itu.
Gerakan
Islam hendaknya melakukan pemantauan yang intensif terhadap para pakar atau
calon pakar, baik itu bersumber dari latar belakang formil yang dihasilkan
masyarakat ataupun hasil program
takhossusiah dari dalam jama’ah sendiri. Di sisi lain Jama’ah Islamiyah tidak
boleh melalaikan faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ( al buhuts al
ilmiyah wa at teknolojiah ) serta mempersiapkan orang-orang yang terlibat di
dalamnya.
Dalam
qo-idah fikriyah pertumbuhan bisa dinilai berhasil bila jama’ah mampu
menghasilkan mutakhossisin di berbagai bidang. Contoh dari aktifitas ini telah
tampak pada tanzhim ‘alami yang memiliki perbendaharaan dan kekayaan spesialis
di berbagai bidang. Kita ambil contoh kemampuan beberapa pakar ikhwah;
-
di bidang Ghazwul Fikri, Dr. Anwar Jundi, terkenal dengan Mausu’ah (
ensiklopedi )nya.
-
di bidang ekonomi, Dr. Isa Abduh, yang menjadi konseptor dan pendiri Bank Islam
di berbagai negara.
-
di bidang sosial, Sayyid Qutb, melahirkan buku yang populer Al Adalah Al
Ijtima’iyah fil Islam.
Maka
dalam rangka menumbuhkan bidang pemikiran ini jama’ah sebaiknya melakukan dua
program, internal dan eksternal.
Secara
internal, petumbuhan qo-idah fikriyah mencakup :
1.
Pembentukan kafa’ah-kafa’ah spesialis ( shiyaghot al kafa’at al mutakhossusat )
yaitu upaya membentuk dan memamfaatkan mereka yang ilmunya mendalam dalam satu
bidang. Ingatlah semboyan “ Ashhabu shun’is sab’i la yujidu syai-an “ ( mereka
yang memiliki tujuh keahlian sebenarnya tidak memiliki keahlian apa-apa ). Kita
menyadari bahwa manusia tidak bisa melebar ilmunya sekaligus mendalam semua
tetapi akan mendalami satu ilmu yang menjadi kafa’ahnya.
2.
Pembentukan konsep-konsep keislaman yang dibutuhkan masyarakat ( syiyaghot an
nazhriyat al islamiyah ) yaitu dengan studi mendalam dilakukan oleh para pakar
terhadap berbagai masalah serta jawaban Islam dalam masalah tersebut. Berbagai
teori kemasyarakatan yang tershibghoh dengan Islam perlu dimunculkan termasuk
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hasil
pembentukan internal di dalam jama’ah ini hendaknya disebarkan keluar dalam
rangka membentuk opini yang Islami. Ini melalui dua tahap :
1. Penyebaran teori-teori / konsep-konsep
( ba-tsu nazhoriyat al fikru al islamiy ) yaitu upaya mempublikasikan
teori-teori keislaman yang telah dirumuskan tersebut sehingga menjadi populer
dan dimiliki masyarakat.
2. Pembentukan ingkungan yang Islami (
syiyaghoh al bi-ah al islamiyah ), yaitu upaya menyiapkan lingkungan yang Islami
yang kelak mampu melaksanakan teori-teori tersebut dengan sebik-baiknya.
Lingkungan yang Islami itu hendakya bisa menjadi contoh di dalam pelaksanaan
teori Islam ( namujaz al Islamiy ).
Di sini kita sebutkan salah satu contoh
pembentukan teori Islam di bidang ekonomi yang perlu dikembangkan dan dirinci
sesuai tuntutan medan.
Beberapa Prinsip Membangun Ekonomi Islam
1. Seluruh harta pada hakekatnya adalah
kepunyaan Alloh ( al malu lillah ), lihat 3:189.
2.
Manusia bertindak sebagai kholifah di dalam harta Alloh
tersebut ( al insan kholifah fi malillah ), lihat 2:29-30 57:7 24:33
3.
Islam menghormati hak-hak kepemilikan khusus, individu
atau pribadi ( al ihtirom al milkiyah al khossoh ) Ini disebabkan Allohpun
bermuamalah dengan manusia dengan memperhatikan fitrahnya.
4.
Islam menjamin batas-batas kecukupan pribadi ( dhoman
haddul kifayah lil fard ), lihat 107:7 70:24-25 dalam hadits dikemukakan :
“ Barangsiapa yang meninggalkan
beban ( anak yatim ) maka hendaknya ia mendatangkannya kepadaku sebab aku
adalah penjaminnya “ ( HR. Hakim ).
“ Barang siapa yang
meninggalkan hutang atau anak terlantar maka berikan padaku dan atas
tanggunganku “ ( muttafaqun alaihi ).
5.
Islam memberikan kebebasan ekonomi yang terkait ( al
hurriyyah al iqtishodiyyah al muqoyyadah ) lihat 2:188 2:175 sabda Rosululloh :
“ Barangsiapa yang melakukan
monopoli dengan tujuan untuk memahalkan harganya pada masyarakat ( muslimin )
maka dia telah bersalah ( HR. Muslim ).
6.
Keseimbangan ekonomi ( at tawazun al iqtishodiyah )
59:7 yaitu agar harta tidak berputar di sekitar orang kaya saja di antara
masyarakat.
7.
Keadilan sosial ( al adalah al ijtima’iyah ) dalam
ekonomi dengan adanya zakat, lihat 9:103 9:60 sabda Rosululloh :
“ Alloh telah mewajibkan kepada
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka untuk diberikan kepada
orang-orang miskin mereka “ ( HR Bukhori Muslim ).
8.
Pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh ( tanmiyah al
iqtishodiyah as syamilah ), lihat 62:10 31:20 2:30 11:61 sadba Rosululloh :
“ Jika terjadi hari kiamat
sedang di tangan seorang di antaramu ada biji yang hendak ditanam, maka
tanamlah ia dan baginya pahala “ ( HR. Bukhori ).
9.
Bimbingan konsumen dan infak ( tursyidul istihlak wal
infaq ) lihat 4:5-11 11:116 17:27 25:67
5.
MENUMBUHKAN BASIS POLITIK
(
numu qudroh al qo-idah as siyasiyah )
Qo-idah
siyasiyah merupakan lapisan policy maker atau pembuat keputusan dalam jama’ah.
Betapapun qo-idah siyasiyah dan fikriyah kita di tingkat mahali belum kuat
tetapi terkompensasi oleh keterikatan kita secara ‘alami. Dengan itu
alhamdulillah kita dapat mereguk dari intaj fikriy dan hikmah siyasiyah yang
dilahirkan oleh tanzhim ‘alami.
Siyasat
itu sendiri senantiasa terkait dengan masalah-masalah lapangan ( al qodloya al
maidaniyah ) baik masa lalu, yang dihadapi sekarang maupun proyeksi masa depan.
Lantaran itu para ikhwah di lapisan ini hendaknya mampu mengambil ibroh dari
masa lalu untuk mengantisipasi masalah yang dihadapinya sekarang serta
membentuk rancangan-rancangan masa yang akan datang.
A.
Disiplin Siyasat Islami ( dhowabith as siyasiyah al islamiyah )
Penumbuhan
qo-idah siyasiyah sewajarnya lebih meningkat dari basis fikriyah dan basis
harakiyah. Sebab meningkatnya basis politis akan menjadi pendorong bagi
basis-basis lainnya. Pertumbuhan kemampuan basis siyasah sangat tergantung pada
sejauhmana tingkat komitmen terhadap disiplin siyasat Islam ( dhowabith as
siyasah al Islamiyah ).
Dalam
menentukan kebijaksanaan setiap qiyadah atau mas-ul hendaknya berdisiplin
dengan :
1.
Jelasnya sasaran dan tujuan dari kebijaksanaan yang diambil tersebut ( al ahdaf
as shohihah al wadhihah )
Ini
merupakan hal yang paling prinsip dari suatu kebijaksanaan. Terkait dengan
komitmen dari para pembuat keputusan tersebut dengan aqidah dan fikroh. Oleh
karena itu semakin luas tanggung jawab
seseorang dalam harakah, semakin tinggi tingkat kebutuhan pada aqidah dan
fikroh. Berapa banyak gerakan, organisasi atau partai politik Islam yang pada
pola siyasahnya tidak Islami atau sasarannya jauh dari kebenaran. Hal ini
disebabkan lemahnya aqidah dan fikroh para pemimpinnya. Nyatalah bahwa
kelemahan aqidah dan fikroh membawa penyelewengan terhadap amanah yang dipikul
satu jama’ah.
Dari
kehidupan Rasululloh dan para sahabatnya kita melihat betapa komitmen aqidah
ini mewarnai kehidupan mereka. Para sahabat tidak pernah melewatkan waktu
mereka sedikitpun dari mengingat Alloh. Sehingga ucapan mereka yang terkenal
“marilah sejenak meningkatkan iman “ ( ta’alau nu-minus sa’ah ). Dari itu
tarbiyah untuk peningkatan dengan wasailnya harus senantiasa digalakkan.
Hal
lain yang penting adalah mewujudkan suasana ruhi di setiap liqo-at ( pertemuan
) yang berlangsung. Suasana jama’ah di semua lapisan dan semua lini hendaknya
dipenuhi dengan rahmat dan barkah dari ruhul Qur-an. Ingatlah sabda Rosululloh
SAW :
“
Dan tidaklah satu kaum yang sedang duduk bersama mengingat Alloh ( membaca
Qur-an ) melainkan turun kepada mereka para Malaikat, beredar di antara mereka
rahmat “ ( HR. Muslim ).
2.
Menggunakan wasilah yang sesuai syari’at ( al wasail al masyru’ah )
Hendaknya
dalam pelaksanaan keputusan dipergunakan wasilah ( sarana ) yang sesuai dengan
syari’at Islam. Kita tidak mengenal menghalalkan cara untuk mencapai tujuan (
al ghoyah tubarrirul wasilah ). Sarana kita adalah yang sah meurut syari’at
Islam. Karena itu pemahaman dan penghayatan terhadap fiqhul ahkam harus
senantiasa baik. Kita ingin orang-orang di lapisan ini merupakan pemimpin yang
ulama dan ulama yang pemimpin ( za’imul alim wa alimuz za’im ).
Maka
program tarbiyah senantiasa menekankan pendalaman ajaran Islam ( tafaqquh fid
din ). Ini diwujudkan agar para ikhwah senantiasa bertindak sesuai dengan
bimbingan dan hidayah Alloh. Sebaliknya yang lepas dari ikatan syari’at akan
menjadi liar dan bebahaya. Kebijaksanaan yang menyimpang dari syar’i biasanya
akan memunculkan maslahat pribadi dari para pembuatnya.
Tatkala
membuat putusan, maslahat pribadi ini harus dijauhkan sehingga tidak merusak
nilai kebijaksanaan tersebut. Kebijaksanaan hendaknya sepenuhnya mengarah pada
maslahat Islam wal muslimin. Ingatlah “ mauqifus shadiqin “ yang mampu melihat
positif dan mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa dengan tidak terganggu
maslahat pribadi.
Ikhwah
di qo-idah siyasiyah yang kuat dalam fiqhul ahkam, insya Alloh tidak akan
keliru membuat keputusan. Adapun yang lemah dalam memahami syariat biasanya
selalu menggunakan dalil darurat ( ad dhorurot tanhibul mahdzurot ). Padahal
darurat itu tidak boleh sembarang diungkapkan. Dalam catatan ayat ghairu baghin
wala ‘aadin itu terkandung pengertian “ terpaksa “ atau “ tidak menginginkan dan
tidak keterlaluan “, maka dhorurot bersifat muaqqotah ( temporal ). Sifat
dhorurot begini memang ada dalam syariat tetapi dalam strategi dan aqidah tidak
ada yang bersifat darurat.
3.
Keterkaitan yang integral ( as syumuliyah al mutarabithoh )
Betapapun
kebijaksanaan biasanya bersifat kasual ( kasus per kasus ) dalam menentukan
kebijaksanaan hendaknya selalu melihat kaitannya dengan hal lain secara
integral. Harus senantiasa dilihat hubungan satu bidang dengan bidang-bidang
lain karena kekuatan jama’ah saling bertumpu satu dengan yang lain. Memacu satu
bidang dengan meninggalkan bidang lain akan membuat ketimpangan di sana sini dan pada gilirannya menimbulkan
kerepotan yang akan menguras tenaga dan pemikiran.
Untuk
mencapai syumuliyatur rabithoh dalam suatu keputusan, para mas-ul harus
memiliki kefahaman yang mendalam terhadap fiqhud da’wah. Oleh karena itu da’wah
Islamiyah yang kita lakukan ini bersifat integral, menyeluruh tidak sektoral
atau terbatas.
Di
samping itu kebijaksanaan yang integral hendaknya disesuaikan dengan daya
dukung jama’ah. Seringkali banyak ide yang brilian tetapi tidak bisa diterima
oleh karena tidak sesuai dengan daya dukung jama’ah. Ide seperti itu terpaksa kita tangguhkan. Sebab
kebijaksanaan yang tidak memperoleh dukungan jama’ah tentu tidak akan dapat
terlaksana dengan baik. Terkadang hanya menjadi sekedar program di atas
kertas bukan dalam kenyataan.
4.
Saling sempurna menyempurnakan ( al kamilatul
mutakamilah )
Ingatlah
bahwa ajaran Islam yang hendak kita wujudkan dalam realitas itu bersifat
kaaffah ( menyeluruh ). Sedangkan kita sebagai
manusia memiliki kemampuan sektoral dan terbatas ( qudroh juz’iyah
mahdudah ). Lantaran itu perlu upaya upaya mendekati sempurna dengan saling
menyempurnakan dalam melakukan aktifitas.
Disiplin
siyasah ini menuntut kita lebih memahami dan menghayati fiqh amal jama’i dalam
gerakan da’wah. Sebab potensi yang dimiliki hendaknya terintegrasi, lengkap
melengkapi; ikhwah yang berkafa’ah da’wah berwawasan ilmiyah dan fanniyah,
mereka yang berkafaah ilmiah berwawasan da’wah dan fanniyah dan orang
berkemampuan fanniyah berwawasan da’wah dan ilmiyah.
Dalam
pengambilan keputusan hendaknya selalu diingat bahwa potensi para ikhwah itu
berlainan. Potensi yang lebih sebaiknya disalurkan untuk membina yang lain. Ini
karena kita hendak membangun jama’ah yang kuat bukan tokoh yang kuat. Biasanya
tokoh kuat dijadikan standar dan itu akan jelek akibatnya. Kita menyadari benar
bahwa kekuatan ummat hanya akan muncul bila ada jama’ah yang kuat, bukan figur
tertentu yang dominan. Karena itu jama’ah tidak menghendaki adanya plafon
berupa tokoh. Plafon kita adalah Rosululloh SAW.
Demikian
juga tidak boleh ada orang yang mendahului shof ini atau sangat tertinggal di
belakang. Sebab keadaan itu sama buruknya dengan akibat yang merugikan gerakan.
Gerak kemajuan ikhwah hendaknya bertingkat dan saling seimbang ( tadarruj wa
tawazun ).
Di
satu bidang yang kita butuhkan biasanya kita terperangah oleh orang-orang
tertentu dengan kemampuan yang super, telah terangkat namanya di masyarakat.
Lantas karena kemampuannya kita menjadi longgar dalam pembinaan di bidang yang
menurut Alloh dan Rosul justru paling
prinsip. Akibatnya mungkin kita hanya sibuk mengurus sang tokoh dan potensi
harakahpun tersedot karenya.
Sesungguhnya
manusia berpotensi dan berkemampuan yang kita butuhkan sangat banyak tetapi
kebutuhan ini jangan sampai membuat kita meninggalkan standar pembinaan.
Ingatlah kewajiban tarqiyah sebelum tausi’ah ( peningkatan sebelum perluasan )
sehingga produk-produk da’wah tarbiyah nanti sesuai dengan daya dukung jama’ah.
5.
Pandangan positif yang dinamis ( al ijabiyah al
hayawiyah )
Ikwah
para pengambil keputusan hendaknya senantiasa melihat setiap persoalan dengan
pandangan positif dan dinamis. Meskipun
dalam kesukaran atau dalam posisi sulit. Kesulitan besar dalam da’wah suatu
ketika akan menghadang maka kesulitan-kesulitan kecil mestinya dipandang
sebagai upaya mencari pengalaman menghadapi masalah.
Kemampuan mengatasi masa-masa sulit akan
menumbuhkan tingkat survive dalam harakah. Tetapi tentu saja dalam strategi
da’wahpun kita dilarang untuk mencari kesulitan. Misalnya dalam bergerak kita
berupaya agar front yang kita hadapi tidak meluas bahkan menjadi sesempit
mungkin.
Watak senantiasa memandang positif dan
dinamis erat hubungannya dengan siyasatud da’wah. Bila ikhwah senantiasa
berpedoman pada siyasatud da’wah maka ia akan berhati-hati dalam bertindak,
penuh rancangan dan perhitungan. Ia mengikuti rencana yang besar yaitu
menghancurkan musuh dari akar-akarnya sehingga kehancurannya itu kehancuran
yang total bukan sebagian-sebagian. Firman Alloh :
“ Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka
telah mengadakan makar, maka Alloh menghancurkan rumah-rumah mereka dari
fondasinya, lalu atap ( rumah itu ) jatuh menimpa mereka dari atas dan datanglah
azab itu kepada mereka dari tempat yng mereka tidak sadari “ ( 16:26 ).
6.
Kesupelan yang didasari kenyataan lapangan ( al murunah wal waqi’iyah )
Siyasah
da’wah sangat terkait dengan kesupelan yang didasari oleh realita yang
dihadapi. Bukan didasarkan pada manfaat yang akan diperoleh. Ini sesuai dengan
hikmatut tasyri’ yang menjadi karakteristik ajaran Islam. Dalam kitabulloh,
syari’at ilahi memberikan range ( skala toleransi ) yang jelas bila menetapkan
suatu hukum. Contohnya dalam masalah makanan yang haram Alloh berfirman :
“
Dan barangsiapa dalam keadaan terpaksa ( memakannya ) sedang dia tidak
menginginkan dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang “ ( 2:173 ).
Dalam
perintah shaum Alloh mengatakan :
“
... Alloh berkehendak memberi kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan
bagimu ... “ ( 2:185 ).
Dalam
masalah hutang Alloh menyatakan :
“
Bila kamu tidak menjumpai seorang laki-laki ( untuk menjadi saksi ) maka dengan
dua orang perempuan yang kamu ridhoi agar yang satu dapat mengingatkan yang
lain “ ( 2:282 ).
Maka
kesupelan ini sangat terkait dengan pengenalan terhadap medan da’wah (
ma’rifatul maidan ). Tanpa mengenal medan dawah yang dihadapi ikhwah sukar
untuk memberikan toleransi dalam menetapkan suatu kebijaksanaan.
7.
Kemudahan yang toleran ( as suhulatul mutasamihah )
Dalam
pelaksanaan keputusan da’wah, kita menghadapi berbagai bentuk budaya yang dalam
pelaksanaannya memerlukan kesupelan, tidak kaku dan intoleransi. Ingatlah bahwa
Rosululloh berpesan kepada para du’at :
“
Mudahkanlah dan jangan mempersulit ! Gembirakanlah dan jangan mengecewakan “ (
HR. Bukhori Muslim ).
Tetapi
toleransi disini tentu saja bukan dalam masalah aqidah atau prinsip tetapi
dalam masalah-masalah syari-at dan uslub da’wah. Untuk menimbulkan kemudahan
dan toleran, para pengambil keputusan hendaknya menguasai ma’rifatur rijal (
mengenal kader-kader ) baik yang menjadi asset kita ataupun bukan. Mengenal
manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya akan membuat kita
bijaksana. Allohpun memberi toleransi dalam perintah-perintahnya :
“
Dan barangsiapa di antara kamu yang sakit atau berada dalam safar maka boleh
berbuka dan mengganti ( shaum ) di bulan yang lain ... “ ( 2:185 ).
Atau
seperti mencukur rambut dalam haji, dalam firman Alloh :
“
... dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hewan korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya ( lalu ia bercukur ) maka wajiblah atasnya berfidyah yaitu berpuasa
atau bersedekah atau berkorban ... “ ( 2:196 ).
Ketujuh
unsur dhowabith siyasat da’wah di atas bila direalisasikan dalam pengambilan
keputusan, insya Alloh akan menghasilkan siyasat al hakimah ( politik yang
bijaksana ) dan akan mempunyai dampak yang baik dalam sebuah gerakan. Hakimah
ma’nanya “ ishobatul haq fil qauli wal amali “ ( mencapai kebenaran dalam lisan
dan perbuatan ).
Refleksi
dari siyasat hakimah adalah :
1.Penerimaan yang luas ( wasi’atul qobul ).
2.Kuatnya dukungan yang diberikan ( qowiyatud da’m ).
3.Mudah untuk dilaksanakan ( suhulatut tanfizh ).
4.Hasil-hasil yang baik ( thoyibatun nata-ij ).
B.
Siyasat Manajemen Harakah ( as siyasat al idariyat al harakah )
Pertumbuhan
qo-idah siyasiyah di samping harus berdisiplin dengan dhowabith siyasiyah juga
bertumpu pada manajemen politik ( siyasat idariyah ) dari gerakan da’wah ini.
Semakin ikhwah berpegang teguh dengan siyasat idariyah semakin sukses pula
sebagai qo-idah siyasiyah. siyasat idariyah itu sendiri berdasarkan pada tiga
landasan utama :
1.
Memahami policy umum ( as siyasat al ‘aamah ) dan jama’ah.
Hendaknya
ikhwah menyadari benar bahwa jama’ah kita bekerja secara syumul dan menyeluruh
untuk kepentingan tegaknya Khilafah Islamiyah. Bukan menegakkan aktifitas yang sektoral.
2.
Memahami Policy tahapan-tahapan/Fase-fase ( as siyasat al marhaliyah ) yang
ditempuh da’wah.
Siyasat
umum ( alami ) adalah sama tetapi masing-masing qutriy itu memiliki marhalah
yag berbeda-beda tergantung dari medan da’wah yang dihadapi. Ikhwah perlu
memahami aplikasi dan implikasi dari tahapan-tahapan da’wah yag berlain-lainan
ini.
3.
Menentukan Policy yang Bersifat Bagian ( siyasat far’iyah ) yaitu kebijaksanaan
da’wah yang hendak ditentukan atau dilaksanakan terkait dengan siyasat ‘aamah
dan siyasat marhaliah.
Bila
ketiga fundamen ini sudah difahami dan ditentukan barulah dibuat takhtit (
perencanaan ). Harus selalu diingat bahwa kefahaman terhadap ketiga unsur di
atas sangat menentukan sejauhmana kualitas perancangan yang akan dihasilkan.
Dalam
perancangan hendaknya ditentukan hal-hal berikut :
1.Menentukan sasaran-sasaran ( tahdidul ahdaf ) dan
rencana yang hendak kita buat tersebut hendaknya diukur sejauhmana ahdaf
tersebut bisa mencapai sasaran siyasah ‘aamah, marhaliyah atau far’iyah.
2.Menyusun program operasional ( barnamijul ‘amaliyat
) untuk memastikan tugas-tugas yang akan dikerjakan.
3.Menentukan time schedule ( barnamij az zamaniy )
yaitu target sasaran berdasarkan waktu. Tetapi kita menyadari hal ini bersifat
dzonniyah dan tidak boleh dimutlakkan. Ingatlah bahwa sering kita jumpai
ide-ide baik yang tidak aplikatif. Ide-ide seperti ini bisa ditangguhkan sampai
kita sanggup melaksanakannya.
4.Menentukan metode bergerak ( uslubut taharruk ) yang
dipilih berdasarkan kebutuhan lapangan yang dihadapi. Uslub bisa variatif agar
tidak menimbulkan kejenuhan. Ingat semboyan “ al ghoyah tsabitah al uslub
mutaghoyyirot “ ( tujuan itu tetap sedangkan metode berlain-lainan ).
5.Menentukan sarana-sarana yang diperlukan ( tahdidul
wasail ).
6.Mencantumkan prakiraan biaya yang dibutuhkan (
mizaniyah taqdiriyah ).
Setelah
keenam hal ini dilaksanakan kita mulai memasuki penataan. Dalam penataan (
tanzhim ) ada beberapa kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, yaitu :
1.Pembagian
tugas ( taqsimul wajibat ) yang disesuaikan dengan kemampuan ikhwah. Pertimbangkan kondisi medan dan rijal yang
kita miliki.
2.Menentukan tanggung jawab ( tahdidul
mas-uliyat ) tanpa menghilangkan sikap bertanggung jawab terhadap masalah
secara umum.
3.Menentukan batas-batas wewenang dalam tanggung jawab
yang diberikan ( tahdidus sulthot ).
4.Menumbuhkan bentuk administrasi ( tanmiyah al hai-at
al idariyah ) tanpa menghimpun data kearsipan.
5.Menentukan prosedur mekanisme struktural ( al
ijro-at at tanzhimiyah ) yang bila telah diputuskan wajib untuk dipatuhi
bersama.
Untuk
menggerakkan ikhwah dalam merealisir program tanzhim ini hendaknya ada pengarahan yang bersifat terus menerus.
Bentuk-bentuk pengarahan ( taujih ) ini bisa :
1.Pengarahan pemimpin ( taujih qiyadi ) yang langsung
seperti berupa perintah-perintah, anjuran-anjuran, briefing dan lain-lain.
Hendaknya para mas-ul memerintah dengan cara yang sebaik-baiknya.
2.Pengarahan untuk meningkatkan semangat moralitas (
taujih raf’ul ma’nawiyat ) dengan nasihat, mauizhoh, busyro bahkan terkadang
dengan penghargaan yang pantas. Tujuannya agar menggairahkan ikhwah dalam
bekerja.
3.Pengarahan untuk komunikasi ( taujih lil ittisholat
). Hubungan komunikasi harakah ini selalu berubah-ubah sesuai dengan keadaan
medan yang dihadapi berdasarkan pertimbangan amni.
Setelah
itu diperlukan adanya pengawasan ( ar roqobah ) yang dalam pelaksanaannya
hendaknya ada unsur-unsur berikut :
1.Standar penerimaan ditunaikannya suatu pekerjaan (
miqiyasul ada ).
2.Adanya standar pengawasan ( al maayirur riqobiyah )
yaitu hanya pada titik-titik rawan yang perlu mendapat perhatian dengan tidak
menutup kemungkinan menerima laporan dari sumber terpercaya.
3.Adanya upaya untuk melakukan perbaikan dari
kekeliruan yang dibuat ( tashihul inhirof ).
0 komentar:
Posting Komentar